Senin, 10 Mei 2010

KATEKESE DAN TANTANGAN MULTITASK (III)

C. Membangun Isi dan Suasana Katekese yang menarik dan menyentuh melalui bahasa media komunikasi.

Media komunikasi populer dan performance art dapat digunakan dalam proses katekese, misalnya dengan beberapa pendekatan metodologi sebagai berikut:

1. Metode apresiasi film

Metode ini mempergunakan sarana film sebagai obyek-media yang dapat menjadi bahan analisa, diskusi dan refleksi. Namun juga dapat dipergunakan sebagai pengantar atau peneguh kesimpulan, maupun sebagai ilustrasi di dalam proses katekese. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah:
Pertama, setiap film, mempunyai nilai-nilai yang perlu diperhatikan, agar apresiasi menjadi lebih mempunyai nilai yang reflektif, nilai-nilainya yaitu:

a. Pernyataan moral. Pernyataan moral biasanya muncul melalui dialog-dialog tokoh atau visualisasi kisah, baik secara langsung maupun yang bersifat hanya tersurat. Peryantaan moral ini biasanya terlihat dari alur plot film, misalnya dari orang yang jahat yang berubah menjadi orang baik (pertobatan), orang yang mengurbankan dirinya untuk menolong sahabat-sahabatnya (pengurbanan).

b. Cermin atau potret kehidupan manusia. Dalam film termuat kisah kehidupan manusia, kisah yang dituturkan kembali sebagai cermin kehidupan. Untuk itu tutur kisah dalam film dapat dijadikan sebagai media batin betapa kehidupan memuat makna yang kaya. Biasanya, film-film yang memuat potret kehidupan manusia adalah film yang berjenis biografi seseorang, atau film yang diangkat dari kisah nyata. Kisah film yang disajikan dalam hal ini dapat menjadi sebuah pernyataan tentang kehidupan, pernyataan tentang kebenaran kehidupan manusia, bagaimana manusia mencari dan menjalani kehidupannya. Misalnya, bagaimana ketegaran hati seorang ibu, perjuangan di kamp pengungsian, dan lain sebagainya.

c. Cermin atau potret sifat manusia. Penokohan dalam film biasanya tergambarkan di dalam penokohan antara yang baik dan yang jahat atau protagonis dan antagonis. Tetapi kadang kali film tidak begitu sekedar menyuguhkan tentang protagonis dan antagonis, melainkan sebuah potret kelam manusia, atau potret biografi kehidupan tertentu. Dari potret tentang sifat manusia melalui penokohan film itu dapat ditangkap tentang kebenaran-kebenaran umum bagaimana sifat manusia menghadapi zaman dan kehidupannya. Dari tutur kisah dalam film biasanya ditampakkan bagaimana sang tokoh menghadapi masalah dan kemudian menyelesaikannya, dari sanalah terlihat sifat-sifat manusia yang terwakili oleh sang tokoh, sebagai gambaran umum sifat manusia.

d. Kritik sosial. Film mempunyai nuansa kritik sosial dan ideologis. Melalui kisah, tokoh, setting tempat dan alur dapatlah sebuah kritik sosial tercipta. Kritik sosial ini biasanya tergambar melalui tampilan-tampilan visual baik langsung (dalam film) maupun tidak langsung ataupun di dalam dialog-dialog tokoh. Kritik kadang dapat bersifat sangat lugas dan transparan, namun kadang begitu halus dengan mempergunakan banyak lambang intrepetasi yang beragam. Biasanya di dalam mengangkat masalah-masalah sosial, film lebih memberikan segi reflektif secara umum dan jarang sekali mengangkat akar permasalahan. Film lebih mengatakan dan menggambarkan bagaimana pentingnya upaya pembaharuan dan perubahan sosial, tetapi jarang mengangkat cara-cara perubahan sosial tersebut.

e. Pertanyaan-pertanyaan filsafati. Tokoh dengan dialog dan alur kisahnya biasanya juga mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan filsafati kehidupan, yang akhirnya tidak dijawab oleh tokoh cerita melainkan dijawab oleh para penikmatnya sendiri. Dalam hal ini, film sungguh bersifat reflektif, mengantar penikmat untuk bertanya tentang kehidupannya. Pertanyaan-pertanyaan filsafati yang muncul kadang kali bukan muncul dari alur cerita atau dialog tokoh, semata saja, namun muncul dari dialektika antara kisah film dengan penikmatnya melalui apa yang disebut intrepetasi.
 

Kedua, di dalam metode apresiasi film ini, ada beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk mengolah proses diskusi dan refleksi agar film sungguh-sungguh bisa menjadi media atau sarana katekese yang bermakna, yaitu:

a. SOTARAE. (Situasi, Obyektif, Tema, Analisa-Ajaran, Rangkuman-Ajaran dan Evaluasi)6)

Secara praktis, langkahnya adalah sebagai berikut:
1). Mengantar tema dan pokok apa yang akan dibicarakan, beserta proses serta film apa yang akan didalami.
2). Menayangkan film; film hendaknya berdurasi pendek (antara 15-20 menit) agar proses pendalaman dapat berjalan maksimal. Namun jika film berdurasi panjang dan diputar utuh, maka pendalaman dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya.
3). Menggali kesan spontan dari apa yang sudah dilihat.
4). Menggali secara obyektif tentang apa yang sudah dilihat. Dalam hal ini menggali secara lahir/eksplisit, misalnya plot filmnya, setting filmnya, tokohnya, dan lain sebagainya. Maka dalam rangka ini, pendamping sebelumnya sudah mempunyai referensi cukup yang melatar belakangi film yang sedang didiskusikan.
5). Menggali tema atau inti dari apa yang telah dilihat. Dalam hal ini mencoba menangkap dari apa yang implisit tersaji.
6). MengAnalisa dari apa yang dilihat. Alternatif analisa dapat sebagai berikut ; yaitu memberikan pertanyaan pancingan untuk didiskusikan. Pertanyaan untuk diskusi tidak terbatas pada pertanyaan praktis saja melainkan sampai kepada pertanyaan refleksi kritis. Kemudian analisa ini dikembangkan dan dihubungkan atau disentesakan dengan visi Kristiani.
7). Merangkum segala apa yang ditemukan dalam pertemuan dan baik juga dibuat dalam bentuk rekomendasi point-point penting yang dapat digunakan sebagai tindak lanjut secara kongkrit. Dalam rangkuman ini dapat juga ditambahkan beberapa hal yang menyangkut visi Kristiani.
8). Merencanakan sebuah aksi bersama yang bertujuan sebagai tindak lanjut dari pertemuan ini dan dari hasil pendalaman suatu dokumen.

b. ORID (Obyektif, Reflektif, Intepretatif dan Dicecion)

Secara praktis, langkahnya adalah sebagai berikut:
1). Mengantar tema dan pokok apa yang akan dibicarakan, beserta proses serta film apa yang akan didalami.
2). Menayangkan film; film hendaknya berdurasi pendek (antara 15-20 menit) agar proses pendalaman dapat berjalan maksimal. Namun jika film berdurasi panjang dan diputar utuh, maka pendalaman dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya.
3). Menggali secara obyektif tentang apa yang sudah dilihat. Mengeksplorasi fakta, data, atas film, misalnya, peristiwa apa yang terjadi, apa yang dilakukan tokohnya dll. Pertanyaan yang diajukan pada tahap ini, yaitu pertanyaan APA ; apa yang dialami, apa yang dilihat dll.
4). Menggali secara reflektif dari apa yang telah dilihat. Mengeksplorasi respon dari peserta atas fakta, data dari film. Pertanyaan yang diajukan pada tahap ini, MENGAPA, bagaimana perasaan/kesan mengenai film yang telah diamati.
5). Menggali secara intepretatif. Menggali pemikiran kritis peserta atas fakta atau topik yang dibahas. Pertanyaan yang diajukan kepada peserta pada tahap ini, BAGAIMANA, terkait dengan pemikiran kritis atas topik yang dibahas.
6). Merangkum segala apa yang ditemukan dalam pertemuan dan baik juga dibuat dalam bentuk point-point penting yang dapat digunakan sebagai tindak lanjut secara kongkrit. Dalam rangkuman ini dapat juga ditambahkan beberapa hal yang menyangkut visi Kristiani.
7). Merencanakan sebuah aksi bersama. Mengajak – menawarkan kepada peserta untuk mengambil peran dalam pengambilan kesimpulan atas topik yang dibahas dan bagaimana merumuskan bentuk kegiatan yang terkait dengan tidak lanjut atas proses yang telah dilakukan. Pertanyaan yang diajukan kepada peserta pada tahap ini, apa yang dapat DILAKUKAN..

Dengan kelebihan dan kekurangannya, metode ORID lebih sederhana daripada SOTARAE. Kedua metode diatas dapat digunakan untuk saling melengkapi dan memperkaya temuan proses refleksi. Intinya, kedua metode diatas mempunyai tujuan yang sama, yaitu menggali lebih dalam dokumen film sebagai sarana katekese. Metode diatas dapat juga diproses untuk model apresiasi terhadap dokumen lain, misalnya cergam, poster, foto, artikel dan lain sebagainya. Baik juga, jika proses diskusi dapat divariasi dengan beberapa model-model sebagai berikut :
1. Diskusi kelompok dadakan (buzz group), yaitu sejenis diskusi kelompok kecil yang beranggotakan 3 – 4 orang dan langsung dibentuk untuk memperdalam materi.
2. Diskusi kelompok sindikat (syndicate group), yaitu sejenis diskusi kelompok 3 – 7 orang di mana setiap kelompok mengerjakan suatu penggalian materi, kemudian hasil penggalian materi didiskusikan secara pleno.
3. Sumbang pendapat (brainstorming), yaitu sering disebut sebagai inventarisasi gagasan. Kegiatan ini merupakan kegiatan curah gagasan secara spontan berhubungan dengan bidang minat atau kebutuhan kelompok untuk mencapai suatu kesimpulan.
4. Diskusi terarah, yaitu suatu pola kegiatan diskusi dimana setiap peserta diberi waktu untuk mengemukakan pendapatnya.
5. Diskusi meja bundar, yaitu diskusi saling mengemukakan pendapat secara berurutan melingkar.
6. Dialog berganda, yaitu peserta diberi waktu untuk bertukar pikiran secara berpasangan. Setelah itu, mereka diminta untuk berkumpul lagi dalam kelompok umum.
7. Diskusi parlementer, yaitu diskusi dimana terdapat dua kelompok besar yang sudah mempunyai pendapat yang saling bertentangan yaitu kelompok yang mendukung dan kelompok yang menentang, dalam hal ini pendapat-pendapat pribadi dikesampingkan. Diskusi ini memerlukan moderator untuk mengatur jalannya proses. Diskusi ini juga dibentuk kelompok ketiga untuk membuat rangkuman.
8. Diskusi akuarium, yaitu diskusi yang terbagi atas dua kelompok, dimana masing-masing kelompok mempunyai peran sebagai kelompok diskusi dan kelompok pengamat, dan kemudian dua kelompok ini akan bertukar peran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar