Senin, 28 Juni 2010

KESAKSIAN RACHEL, Seorang Tunanetra

Pengantar:
Saya mengenal Rachel pertama kali ketika masih sama-sama aktif di Laetitia - di bawah naungan Yayasan LDD - KAJ, sebuah wadah pemersatu bagi penyandang cacat atau mereka yang concern dengan masalah-masalah penyandang cacat di Keuskupan Agung Jakarta. Saya juga sempat satu almamater dan bahkan satu fakultas dengannya waktu kami kuliah di FKIP Atmajaya Jakarta, saya di Ilmu Pendidikan Teologi dan dia di Jurusan Bimbingan Konseling. Walaupun menyandang tunanetra (low vision) saya mengenalnya sebagai seorang yang cerdas, berpikiran tajam dan berpandangan luas, sewaktu sama-sama menjadi panitia Yubileum Agung bagi Penyandang Cacat di KAJ, dan yang untuk kegiatan tersebut kami sering sama-sama berkampanye di Gereja-gereja maupun sekolah-sekolah bagi kepentingan dan aksesibilitas Penyandang Cacat di KAJ. Saya mengenal Rachel juga sebagai seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Tetapi baru mengenalnya lebih mendalam dan baru mengetahui dari sharingnya kalau ternyata ke-Katolik-an baginya adalah sebuah “keprihatinan” semata. Tetapi perjalanannya menuju iman Katolik memang juga luar biasa. Semoga kesaksian hidupnya, yang saya muat di sini, setelah mendapat ijin dari Rachel sendiri (Terima kasih, Rachel!) dan dari Katolisitas.org, dapat menjadi berkat buat kita semua. Dan buat Rachel yang mungkin membaca ini: Semoga berkat dan rahmat Tuhan melimpah di hidupmu dan keluargamu.


KESAKSIAN HIDUP RACHEL I : PERJALANAN HIDUPNYA

Aku senang sekali bisa berbagi cerita hidupku sebagai seorang tunanetra. Bagaimana Tuhan tetap baik buatku meski aku harus menjalani hari-hariku dengan mata yang remang-remang, nyaris redup. Aku berdoa agar ceritaku ini bisa menjadi berkat dan semangat bagi teman-teman semua, terlebih buat teman-teman yang memiliki keterbatasan seperti yang aku alami. Tapi lebih dari semuanya itu, biarlah ceritaku ini semata-mata hanya untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Sebab aku ada hingga saat ini, bukan karena kuat dan gagahku, melainkan semua hanyalah karena kasih karunia Tuhan yang teramat besar, yang telah dengan setia menemani hari-hariku dan siap sedia kapan saja untuk menolongku.

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh 9 : 1-3)



Dari lahir sampai SMU, aku tinggal dengan kedua orangtuaku di Sukabumi. Baru setelah kuliah, aku pindah ke Jakarta, nggak bareng lagi sama orangtua.
Nah, sekarang aku akan mulai bercerita apa adanya. Oh ya, sebelumnya aku mau jelaskan dulu kalau aku mengetik cerita ini menggunakan laptop yang sudah diinstall sebuah program yang namanya JAWS. Dialah yang selalu setia membantuku membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang aku ketik akan dia bacakan dengan lafalnya yang masih lafal bahasa Inggris. Semua program di komputer pun akan dia bacakan sehingga teman-teman tunanetra sepertiku bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya.

Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, kakakku laki-laki dan adikku perempuan. Aku dilahirkan sebagai bayi yang sehat tak kekurangan suatu apapun, mataku jernih dan bersinar seperti bayi-bayi lainnya. Seturut bergulirnya waktu, akupun bertumbuh menjadi seorang gadis kecil yang lincah, berlarian kesana-kemari, merasakan indahnya dunia bermainku. Tetapi ketika aku hendak masuk ke kelas satu SD, kira-kira usiaku saat itu belum genap 6 tahun, aku mulai menampakkan tingkah laku yang ganjil. Aku mulai sering menabrak barang-barang kecil yang ada di depanku, saat menonton TV pun mataku begitu dekat dengan layar televisi. Mamiku mencoba mengajariku membaca, tapi yang kulihat hanyalah gumpalan-gumpalan hitam yang bergaris-garis. Lantas saja orang tuaku heran dan cemas tidak karuan. Akhirnya mereka membawaku ke dokter mata di Sukabumi. Semua ukuran kacamata mulai dari yang tipis hingga yang tebal dicobakan ke mataku, tapi semuanya itu tidak berpengaruh bagi penglihatanku, hingga membuat dokter itu jadi ikut-ikutan bingung. Tidak putus asa, orangtuaku pun terus membawaku berobat ke Jakarta. Tujuh dokter kami datangi, tapi semua angkat tangan dengan kasus mataku. Hingga akhirnya kami sampai pada dokter terakhir yang mengatakan kepada orangtuaku bahwa mataku akan buta dan menyarankan agar mereka segera mengirimku ke SLBA (Sekolah Luar Biasa untuk penyandang tuna netra). Mendengar itu, orangtuaku menjadi shock berat, tak pernah disangkanya kalau anak kedua mereka akan menjadi seorang penyandang tunanetra. Setelah hari itu, mamiku sering menemukan papi sedang membenturkan kepalanya ke tembok, seakan begitu putus asa dan tidak punya lagi pengharapan. Karena itu mami yang senantiasa menaruh pengharapannya hanya kepada Tuhan, terus mendampingi dan memberikan kekuatan kepada papi.

Memang, terkadang pikiran Tuhan begitu dalam hingga tak dapat terselami, jalan-Nya bukanlah jalan kita, rencana-Nya bukanlah rencana kita, tapi satu yang aku tahu dan yakini bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk bagi anak-anak-NYA, melainkan rancangan yang penuh damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh pengharapan. Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29 : 11)
Ketika itu, papi yang belum mempercayai Tuhan sepenuhnya, menantang mami dengan mengatakan : “Jika Tuhan benar ada, biarlah Dia membuktikannya lewat anak ini. Saya tidak mau jika sampai anak ini masuk ke SLBA!”

Akhirnya, dengan berbekal iman yang teguh, mami mendaftarkanku ke salah satu sekolah swasta terbaik di Sukabumi. Kebetulan kakaku juga bersekolah di sana, sehingga selain lebih memudahkan mami untuk mengantar jemput kami, kakaku juga bisa membantu menjagaku. Awalnya tidak mudah buatku untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru dengan keterbatasan penglihatan yang kumiliki. Aku ditempatkan di deretan bangku paling depan, tetapi untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, aku harus tetap berlari ke dekat papan tulis itu dan kemudian kembali ke tempat dudukku untuk menuliskannya ke dalam buku catatanku. Begitulah yang terus kulakukan sampai semua tulisan yang ada di papan tulis selesai kucatat. Sementara untuk membaca tulisan yang ada di buku, aku menggunakan alat bantu kaca pembesar, sehingga membacaku menjadi lambat. Sering kali saat pulang sekolah, mami menemukanku sedang menangis di dekat papan tulis karena belum bisa menyelesaikan catatanku sementara teman-temanku yang lain sudah pada pulang.

Banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus kulalui, baik dari teman-teman yang sering mengejekku – bermain pun tidak lagi selincah anak-anak lain – maupun dari sistem pengajaran yang memang tidak dikhususkan buat anak tunanetra sepertiku. Jadi mau tidak mau aku harus berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pengajaran mereka agar tidak ketinggalan pelajaran. Tidak jarang nilai-nilai pelajaranku pun menjadi buruk karena saat ujian, aku sering tidak bisa menyelesaikannya karena lambatnya aku membaca sementara waktu yang disediakan sangat terbatas. Sering aku merasa sedih dan malu dengan keadaan mataku yang lain daripada yang lain ini, sehingga sering aku mencoba menutupi kecacatanku itu dengan menyembunyikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada dihadapanku. Aku tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman-teman, jadi aku berusaha sekuatnya agar aku tetap sama dengan kondisi mereka. Jika temanku bermain lompat tali atau benteng-bentengan, atau petak umpet, aku akan tetap ikut walaupun akhirnya aku harus mengalah untuk hanya menjadi anak bawang. Kalau mereka disuruh membaca bergiliran oleh guru, aku pun harus membaca seperti mereka, walaupun akhirnya aku menjadi bahan tertawaan teman-teman karena bacaku sangat lambat dan sering salah-salah, sehingga sering tanganku menjadi gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Buatku membaca adalah kegiatan yang sangat menakutkan dan melelahkan. Tapi Tuhan begitu baik, tidak pernah sedetikpun Ia meninggalkanku. Meski berat hari-hari yang harus kujalani, tapi tangan Tuhan selalu menopangku sehingga membuat kakiku tetap kuat untuk berpijak dan melanjutkan langkah hidupku bersama dengan Dia yang dengan setia menggendongku. Tahun demi tahun aku lalui tanpa aku harus tinggal kelas. Melihat itu, papi semakin yakin akan penyertaan Tuhan dan semakin mengasihi-Nya. Itulah mujizat pertama yang keluargaku terima.

Ketika aku harus mengikuti EBTANAS di kelas 6, tiba-tiba kepala sekolah melarangku untuk mengikutinya, dengan alasan takut kalau-kalau NEM sekolah menjadi NEM terendah di antara sekolah-sekolah lainnya hanya gara-gara anak tunanetra yang satu ini. Tapi orangtuaku tidak mengalah begitu saja, dengan doa dan kegigihan mereka, akhirnya aku diijinkan mengikuti EBTANAS. Di pikiranku saat itu, yang penting lulus saja, aku sudah sangat bersyukur. Tapi Tuhan tidak berpikiran seperti itu, Dia tidak pernah mempermalukan anak-anakNya. Setelah NEM keluar, aku sangat tercengang, ternyata Tuhan memberikanku NEM yang sama sekali tidak pernah kupikirkan, apalagi kudoakan sebelumnya. Aku hanya meminta NEM dengan rata-rata 6, karena itu sudah memenuhi syarat kelulusan. Tapi ternyata yang kuterima NEM dengan rata-rata 8. hanya selisih sekitar dua point dengan NEM tertinggi yang diraih teman sekelasku.
Akupun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatanku makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri dan tidak perlu dituntun orang lain. Proteksiku terhadap kecacatanku pun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja aku juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaanku pun menjadi lebih sensitif. Aku sering menangis sendirian di dalam kamar, bertanya-tanya mengapa Tuhan tega memberikan mata seperti ini kepadaku, sementara kakak dan adikku tidak perlu mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang kualami. Sering aku marah pada Tuhan karena ketidakadilan-Nya ini. Sering aku berpikir tentang masa depanku, bagaimana aku bisa bekerja, apakah aku akan terus bergantung pada orangtuaku, tidak mampu hidup mandiri, dan apa mungkin ada cowok yang mau menikahi seorang gadis cacat sepertiku. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuatku merasa sedih dan frustasi. Tapi biasanya aku tidak mau membiarkan diriku berlarut-larut dalam kesedihanku, secepat aku memikirkannya secepat itu pula aku berusaha melupakannya. Aku sadar kalau bukan karena turut campur tangan Tuhan, aku tidak mungkin kuat menghadapi semuanya ini sendiri. Aku tahu ada Tuhan yang selalu menolong, menghibur, dan memberikan kekuatan kepadaku.

Waktu SMP, mamiku membelikanku sebuah kacamata berteropong, mirip seperti yang ada di film Star Trek. Kaca mata itu memang dirancang untuk anak-anak tunanetra yang masih memiliki sedikit penglihatan sepertiku. Jenis tunanetra ada 2 macam, totally blind adalah tunanetra yang sudah total atau yang sama sekali sudah tidak bisa melihat apa-apa termasuk cahaya. Sementara low vision adalah tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan di bawah normal. Aku masih termasuk yang low vision. Kacamata berteropong itu bisa membantuku melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya sudah di berikan kaca pembesar, sehingga setiap objek yang ditangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Aku gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, sehingga aku tidak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar, sahingga membuat mataku cepat lelah dan tentu saja memaksaku untuk menahan malu di depan teman-temanku, apalagi di depan cowok incaranku.
Tetapi kemampuanku membaca dengan alat itupun tidak bertahan lama, penglihatanku terus menurun. Aku mengandalkan teman-temanku untuk membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis. Meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan sedang malas. Kegiatan menangis sendiri di dalam kamar pun semakin padat dan intonasi nada menangisnya pun semakin bervariasi. Aku tidak mau kalau hobiku menangis sampai diketahui orang lain apalagi orangtuaku. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hatiku pun hanya kutujukan pada Tuhan. Tapi semakin aku menjerit dalam hati, aku semakin merasakan Tuhan dekat denganku, semakin aku sering protes sama Tuhan, semakin hatiku merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah padaku, malah aku semakin merasakan Tuhan tambah sayang padaku. Karenanya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan. Aku menganggap kalau sampai aku melakukan hal itu lagi berarti aku termasuk orang yang tidak tahu berterimakasih.
Orangtuaku mencoba mengajakku lagi berobat ke luar negeri, ke Singapura dan ke Belanda. Tapi tidak satupun dokter atau profesor mata yang sanggup menolongku. Mulai saat itu aku memastikan pada diri sendiri bahwa tidak ada satu pun orang yang dapat menolongku selain Tuhan. Karena itu, aku mulai belajar untuk berserah penuh pada keputusan-Nya.

Lulus SMP, aku mendaftarkan diri ke SMU. Tapi belum apa-apa kepala sekolah SMU sudah menolakku dengan alasan belum pernah punya pengalaman menerima murid cacat. Tapi waktu Tuhan selalu tepat. Calon kepala sekolah baru yang akan menggantikan kepala sekolah yang menolakku itu di tahun ajaran baru, lebih optimis terhadapku, sehingga dialah yang memperjuangkanku di depan kepala sekolah yang lama. Akhirnya aku pun masuk ke SMU itu, belajar seperti anak-anak lainnya. Aku senang bersekolah di sana, karena selain teman-temannya yang baik-baik, mereka juga senang menolongku. Mereka mengatakan kalau aku adalah seorang gadis yang cantik, tentu saja hal itu membuatku menjadi lebih percaya diri, apalagi dalam hal mencari pacar seperti teman-teman perempuan yang lain. Aku pun semakin bisa menerima diri apa adanya dengan segala kecacatan yang kumiliki, aku tidak malu lagi mengatakan kalau mataku tidak bisa melihat.

Aku meminta ijin kepada mami untuk belajar huruf braille, dan mami pun segera mencarikanku seorang guru SLBA untuk mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku. Aku mulai mengenal banyak teman-teman tunanetra di SLBA. Hatiku begitu senang seakan aku sudah menemukan duniaku sendiri. Ternyata banyak sekali teman-teman yang juga mengalami kecacatan seperti yang aku alami. Banyak sekali hal-hal baru yang kuterima dari mereka, bagaimana cara mereka berjalan sendiri dengan tongkat mereka, bagaimana cara mereka membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka lakukan, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuatku begitu tertarik untuk mempelajarinya. Aku pun menjadi sering bermain ke SLBA itu dengan diantar dan dijemput oleh orangtuaku. Tapi pada suatu hari, orangtuaku tiba-tiba melarangku untuk bermain ke sana, mereka berkata bahwa aku berbeda dengan teman-teman di SLBA itu. Aku benar-benar merasa sedih dan seketika itu juga rasa sepi seakan kembali menyergap hatiku, seolah-olah aku telah kehilangan seorang sahabat terbaik yang sudah lama kucari dan berhasil kutemukan, tapi dengan secepat kilat ia kembali pergi meninggalkanku seorang diri. Ternyata orangtuaku belum juga bisa mengakui kalau anaknya adalah seorang tunanetra.
Ketika aku lulus SMU, aku masih kebingungan memilih universitas. Kebetulan suatu hari, mami melihat seorang tunanetra bergelar S2 sedang diwawancarai di salah satu stasiun televisi perihal PEMILU. Segera saja mami menghubungi stasiun TV itu untuk menanyakan nomor telepon tunanetra tersebut. Dengan cara begitu, akhirnya aku dan mami berhasil menemui tunanetra itu yang ternyata seorang dosen honorer di salah satu universitas Katolik di Jakarta dan juga ketua dari sebuah yayasan tunanetra di bawah Lembaga Daya Darma KAJ, bernama ‘Laetitia’ (Laetitia berarti ‘Gembira’, berlokasi di Jakarta pusat).

Singkatnya, pada tahun 1999 akupun mendaftar di Universitas Katolik Atma Jaya, mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Selain itu, aku juga tergabung dalam keanggotaan Laetitia. Teman-teman tunanetranya lebih banyak dari pada di SLBA Sukabumi, aku pun kembali senang bukan kepalang, dan ternyata orangtuaku pun tidak lagi melarangku untuk bermain dengan mereka, malah orangtuaku terlihat begitu bersimpatik dengan teman-teman tunanetra yang sangat luar biasa itu. Diam-diam orangtuaku mulai bisa menerima keadaanku yang sebenarnya sebagai tunanetra. Merekapun tidak malu lagi untuk mengatakan kepada khalayak umum, bahwa anak kedua mereka adalah seorang tunanetra. Malah mereka bangga dengan anak keduanya yang meski tidak melihat tapi bisa berkuliah dan bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya yang non cacat.

Di kampus, aku belajar seperti mahasiswa lainnya, dalam ruangan yang sama dan sistem pengajaran yang sama pula, tidak ada perlakuan khusus untukku. Aku merekam setiap pengajaran dosen di kelas ke dalam pita kaset dengan menggunakan tape recorder. Demikian juga dengan buku-buku atau catatan-catatan, tapi ada juga yang aku tulis dalam huruf braille. Hanya saat quiz atau ujian, biasanya aku dibantu oleh orang dari sekretariat kampus atau teman-teman dari pastoran kampus untuk membacakan soal-soal, kemudian menuliskan jawaban yang kuberikan dengan lisan ke dalam lembar jawaban. Kesulitannya adalah pada saat membuat gambar atau grafik-grafik, biasanya aku menggambarkannya di telapak tangan mereka dengan jari telunjukku. Setelah mereka paham, barulah mereka mencoba untuk menggambarkannya ke lembar jawaban. Aku mengerjakan ujian itu di ruang dosen.

Selain itu, teman-teman dari Legio Maria juga sering membantu aku merekamkan buku-buku atau diktat-diktat ke dalam pita kaset. Jadi aku bisa menyelesaikan setiap tugas-tugas kampus dengan rapi dan tepat waktu. Nilai-nilai mata kuliahku pun cukup memuaskan. Dan pada 15 November 2003 akhirnya aku dapat meraih gelar sarjana S1, sebagai sarjana pendidikan (SPD).

Sementara itu aku sedang bergumul dalam doa untuk langkah selanjutnya yaitu pekerjaan, karena banyak sekali teman-teman tunanetra seniorku belum mendapat pekerjaan hanya karena kecacatan mereka. Sudah banyak perusahaan yang menolak mereka padahal gelar sarjana sudah mereka sandang. Jujur saja aku sempat merasa khawatir tentang yang satu ini. Aku hanya bisa menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan. Aku yakin kalau selama ini Tuhan sudah menyertai langkah hidupku sampai menjadi seorang sarjana, masakan sekarang aku meragukan Tuhan hanya karena melihat kenyataan yang pahit dari teman-teman tunanetra yang sulit mendapat pekerjaan.
Pada 19 Desember masih di tahun 2003, aku diundang oleh sebuah perusahaan besar di Cikarang untuk membagikan kesaksian hidupku di acara Natal mereka. Tak satupun orang kukenal di sana, hanya yang mengundangku saat itu seorang karyawati yang pernah mendengar kesaksianku sebelumnya di tempat lain.

Saat aku memasuki gedung tempat di mana perayaan Natal itu diselenggarakan, aku mendengar sebuah bisikan di telingaku, tapi seperti juga muncul dari dalam hatiku. Bisikan itu berkata, “Kamu akan bekerja di sini!”. Aku sempat bingung dengan suara itu, tapi pada saat itu aku hanya berpikir bahwa suara itu datang dari hatiku sendiri yang sedang begitu mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan.
Sesuai susunan acara, aku seharusnya di tempatkan di acara terakhir dari acara perayaan. Tapi Tuhan punya rencana lain, karena pembicara pada saat itu terlambat datang, sehingga aku di minta untuk mengisi di awal acara. Ya sudah, jadilah aku bersaksi dan menutupnya dengan satu nyanyian. Setelah aku bersaksi, dilanjutkan dengan acara penyalaan lilin Natal, tiba-tiba owner dari perusahaan tersebut menghampiriku dan bertanya kepadaku:
“Apa kamu sudah bekerja?”
“Belum, Pak!”
“Kamu mau kerja?” tanyanya lagi.
“Mau, Pak!” Jawabku cepat tanpa sedikitpun keraguan, dan inilah kata-kata yang kudengar dari owner itu
“Ya sudah, kamu bekerja dengan saya!”
Seketika itu juga, suara yang tadi kudengar saat memasuki gedung terngiang kembali di telingaku. Begitu senangnya aku sampai semuanya terasa seperti mimpi. Aku mengerti, ternyata suara tadi pasti dari Tuhan, Tuhan telah memberitahuku lebih dulu sebelum owner itu memberitahuku. Tuhan memang benar-benar baik bahkan teramat sangat baik buatku. Aku benar-benar merasakan sebagai anak Raja. Raja telah memerintahkan owner itu untuk menerimaku bekerja di perusahaan yang besar miliknya. Selesai owner itu berbicara denganku, acara dilanjutkan dengan penyampaian khotbah Natal. Selesai khotbah, owner itupun pulang, tidak mengikuti acara sampai akhir. Cara Tuhan dalam menolongku memang sungguh ajaib.

Begitulah, sekarang sudah hampir lima tahun aku bekerja di perusahaan Mulia Keramik. Pertama sebagai resepsionis di mana pekerjaanku selain menerima telepon, menghafalkan begitu banyak nomor extention, dan juga harus menghadapi tamu-tamu baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal itu membuatku semakin berani dan percaya diri dalam menghadapi orang banyak.

Walaupun jarak penglihatanku semakin kabur, tapi aku masih mampu melihat bayang-bayang dan cahaya. Jadi kalau ada tamu yang datang ke depan mejaku, aku masih bisa mengetahuinya, meski sering juga teman sekantor yang sedang berdiri di depan mejaku pun, aku sangka tamu. Bulan Agustus tahun 2007, aku dipindahkan ke bagian HRD Training & Recruitment. Aku bekerja dengan menggunakan laptop yang sudah di-install sebuah program yang namanya JAWS (Job Access With Speech). Program inilah yang selalu setia membantuku membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang aku ketik akan dia bacakan dengan lafalnya yang masih lafal bahasa Inggris. Semua program di komputer pun akan dia bacakan sehingga teman-teman tunanetra sepertiku bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya. Selain komputer, program JAWS juga dapat di gunakan pada handphone, hanya namanya saja yang berbeda. Pada HP program bicara itu dinamakan TALK, tapi cara kerjanya sama persis.

Nah, begitulah kira-kira kisah hidupku. Oh ya, ada yang kelupaan, tentang pacar. Waktu kelas 3 SMU, aku pernah punya pacar. Kata temanku, wajah pacarku itu sangat tampan, sehingga banyak teman-teman wanita yang lain pun diam-diam naksir dia. Pacarku bilang kalau dia sangat sayang padaku apapun keadaanku. Tapi selang beberapa waktu, ternyata orangtuanya tidak menyetujui hubungan kami, mereka berkata kepada pacarku itu kalau aku hanya akan jadi beban saja. Sakit rasanya mendengar itu. Akhirnya hubungan kami pun tidak berlangsung lama. Waktu aku sudah kuliah di Jakarta, aku memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan kami. Meski pahit, harus tetap kujalani.

Tapi sekarang, Tuhan sudah memberikan padaku seorang pendamping hidup yang luar biasa. Awalnya dia adalah anggota baru Legio Maria. Pada suatu hari Minggu, teman-teman Legio mengajakku pergi berjalan-jalan. Nah, dia ada di antara mereka. Jadilah kami berkenalan di depan pintu rumahku. Beberapa hari kemudian, dia meneleponku, dan hubungan kami pun semakin dekat. Dia sangat mengasihi Tuhan dan juga sangat menyayangiku. Dia tidak pernah menganggap kalau kecacatanku itu sebagai beban atau sesuatu yang memalukan, sehingga harus ditutup-tutupi. Malah dia begitu bangga mengenalkanku pada teman-temannya dengan mengatakan: “Pacarku ini tunanetra!”. Bukan hanya itu, orangtua dan saudara-saudaranya pun sangat baik terhadapku, mereka begitu bisa menerimaku apa adanya. Di bulan Agustus 2008, kami pun melangsungkan pernikahan.

Dua puluh tujuh tahun sudah aku mengalami begitu banyak kebaikan-kebaikan Tuhan. Meski mataku secara fisik belum sembuh, tapi aku bersyukur, karena Tuhan telah lebih dulu mencelikkan mata hatiku, sehingga aku bisa merasakan betapa baiknya Tuhan dan dapat melihat betapa indahnya rencana Tuhan dalam kehidupanku dan keluarga. Kalau Tuhan mau menyembuhkan mataku, detik ini pun aku yakin Tuhan sanggup melakukannya, tapi janganlah kehendakku yang terjadi, melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang jadi dalam hidupku. Yang aku inginkan sekarang adalah menggunakan hidup ini untuk menjadi kemuliaan bagi nama Tuhan. Amin!

Aku berharap melalui cerita kehidupanku ini, teman-teman penyandang cacat, khususnya penyandang cacat tunanetra sepertiku, yang sampai saat ini belum juga bisa menerima kecacatannya atau merasa tidak mampu untuk berbuat apapun, dapat lebih membuka diri dan berkarya sesuai dengan kemampuan yang Tuhan percayakan kepada kita masing-masing. Ingatlah bahwa kecacatan yang kita miliki bukanlah suatu hambatan untuk kita maju dan berkembang. Asalkan kita memiliki kemauan, pasti kita mampu melakukannya dan mencapai keberhasilan seperti yang kita harapkan.

Dan bagi para orangtua yang mungkin merasa malu dan terpukul karena memiliki anak yang cacat, janganlah terlampau putus asa atau mengucilkan anak tersebut, karena di dalam dunia ini tidak ada seorangpun yang sempurna. Ingatlah bahwa di balik kecacatan mereka, Tuhan telah menyimpan suatu kelebihan yang dapat diolah menjadi sebuah kebanggaan. Carilah dan galilah itu, berilah dukungan dan bantulah anakmu dalam menghadapi segala hambatan dan tantangan yang ada di sekelilingnya. Janganlah memandang mereka dari sisi kecacatannya saja, tapi pandanglah mereka sebagai seseorang yang memiliki potensi untuk berkarya bagi Tuhan dan sesama, bahkan akan membawa kebanggaan bagi kalian sebagai orangtua, karena telah berhasil melaksanakan sebuah tugas besar yang dipercayakan Tuhan kepadamu untuk mendidik dan membesarkannya, dengan segala tantangan yang ada.

Bagi pemerintah, para pengusaha, dan lembaga sosial, hanya satu hal yang ingin aku tekankan di sini, bahwa kami, para penyandang cacat, meski tidak sempurna secara fisik, tapi kami juga memiliki kebutuhan yang sama dengan mereka semua yang mungkin secara fisik sempurna. Kami butuh kesempatan, kami butuh pengakuan, dan kami juga butuh persamaan. Tidak ada yang tidak mungkin untuk kami lakukan, asalkan kami diberikan kesempatan untuk mencoba dan membuktikan potensi kami!

Nantikan selanjutnya : KESAKSIAN RACHEL II : PERJALANAN MENUJU IMAN KATOLIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar