Kamis, 12 Agustus 2010

TANTANGAN DAN PELUANG UPAYA PENGEMBANGAN KATEKESE DI INDONESIA

Pendahuluan

Dari data yang ada, 50% jumlah penduduk dunia ada di Asia dan dari jumlah itu, jumlah umat Katolik di Asia hanya 2,4% dari total jumlah penduduk dan bahkan jika Filipina tidak dihitung maka jumlahnya kurang dari 1%. Memang populasi umat Katolik di Asia sangat kecil. Di Indonesia, tidak berbeda keadaannya dengan keadaan umum Asia. Dari data tahun 1997 (Katalog Gereja Katolik Indonesia 1997 - KWI) jumlah umat Katolik Indonesia hanya sekitar 5% dari total jumlah penduduk Indonesia, dan saat ini dipastikan akan sangat berkurang dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia.

Memang sungguh suatu ironi bahwa kekristenan, yang sebenarnya lahir di Asia, menjadi suatu agama yang asing di Asia sendiri, termasuk di Indonesia. Masyarakat Indoensia pada umumnya lebih merasa bahwa Islam adalah agama asli Indonesia dan Kristen adalah agama asing (walaupun pandangan itu tidaklah benar, karena keduanya memang bukan agama asli Indonesia). Ke-terasing-nya kekristenan ini bukan karena kekristenan menganut paham yang dianggap ‘lain’ dari yang telah ada. Itu semua lebih disebabkan karena gereja setempat mengambil jarak dari urus utama/umum kehidupan, sejarah, perjuangan dan aspirasi-aspirasi rakyat Asia. Singkatnya, Gereja setempat tidak mengidentifikasikan diri dengan rakyat, tidak menyatu dengan rakyat kendati cukup banyak melakukan amal kasih. Gereja selama iini terjebak memposisikan diri menjadi semacam “penolong yang datang atas”, sehingga terjadi kesenjangan antara Gereja dan masyarakat setempat.
Sidang FABC (Federation of Asian Bishops Conference = Federasi Konferensi-Konferensi para Uskup Asia), menandai permulaan kesadaran baru akan sekian banyaknya ikatan tradisional, yang menyatukan pelbagai bangsa-bangsa di kawasan Asia. Kendati ada banyak perbedaan, bangsa-bangsa Asia terhimpun oleh kekerabatan rohani dan pusaka warisan bersama nilai-nilai susila dan keagamaan. Sidang FABC juga memberikan kesadaran baru akan visi. misi dan orientasi pembangunan gereja lokal di Asia berdasarkan dialog dan inkulturasi dengan tradisi-tradisi, kebudayaan-kebudayaan dan situasi-situasi hidup khas Asia.

Tantangan dan Peluang



Menurut FABC (The Federation of Asian Bishops Conference = Konferensi para Uskup Asia), tantangan utama bagi Gereja di Asia adalah situasi setempat Asia yang khas. Ada empat kategori tantangan yang dihadapi Asia, yaitu sosial politik (termasuk di dalamnya bidang ekonomi), integrasi nasional, masalah sekularisasi dan penyelarasan tradisi, serta terakhir, adanya aneka ragam orientasi ideologi. Dan rasa-rasanya memang keempat tantangan itulah yang saat ini juga menjadi tantangan karya perwartaan di Indonesia
Tantangan pertama berasal dari situasi sosial politik. Di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, terdapat pemerintahan yang otoriter dalam berbagai tingkat, artinya mau menguasai semua bidang kehidupan. Misalnya media massa dikendalikan, suara yang tidak setuju langsung dibungkam, dan setiap oposisi wajar pun ditekan berdasarkan alasan keamanan dalam negeri yang sesungguhnya layak untuk dipertentangkan. Masalah sosial politik ini berkaitan erat pula dengan masalah di bidang ekonomi. Pola pembangunan di Indonesia tetap melebarkan jurang anatara yang kaya dan yang miskin. Produksi tidak diarahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mayoritas penduduk tetapi ditentukan oleh tuntutan pasar. Perusahaan-perusahaan multinasional dan teknologi pertanian dan perdagangan hasil bumi dikuasai oleh penanam modal asing dan kaum elitsehingga sungguh mencekik leher dan merugikan kelangsungan hidup kaum miskin. Dalam konteks ini, kesejahteraan ditempatkan dalam perspektif “stabilitas” yang (tanpa mengindahkan pengorbanan sosial) dibutuhkan bagi produksi dan pemasaran hasilnya.

Tantangan kedua menyangkut masalah integrasi nasional. Kebanyakan negara di Asia, termasuk di Indonesia, terbangun/dibangun dari aneka macam suku, bahasa, budaya dan keyakinan agama. Oleh karena itu kerukunan dan keselarasan yang stabil antara pelbagai golongan sulit sekali tercapai. Misalnya konflik di Bangladesh dan India yang melibatkan umat Hindu dan Budha, maupun konflik di Ambon dan Poso - Indonesia, yang melibatkan massa Kristen dan Islam. Memang aneh dalam suasana seperti itu, agama tidak berfungsi sebagai daya kekuatan pemersatu tetapi justru sebagai pemicu kebencian, persaingan dan perpecahan. Dimana-mana fundamentalisme keagamaan bermunculan. Disampin itu para politisi memperalat agama dan simbol-simbol keagamaan demi kepentingan mereka sendiri.

Tantangan ketiga berkaitan dengan masalah sekularisasi dan penyelerasan tradisi dengan peri kehidupan modern. Situasi budaya dan adat istiadat di Indonesia sedang mengalami perubahan mendasar berkaitan dengan benturan-benturan dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan era industrialisasi. Semuanya itu disatu pihak memang menguntungkan, tetapi tidak bisa dipungkiri di lain pihak justru menghasilkan kehancuran yang mendalam. Kelestarian kebudayaan-kebudayaan lokal tergantung dari kemampuannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan baru. Untuk itu demi kemajuan yang tetapi memiliki nilai luhur tradisi diperlukan dialog dalam kesimabungan yang dinamis dengan masa lampau dan tercapailah sintese-sintese baru. Selain itu, gedung-gedung pencakar langit berdiri di samping gibig-gubug reot bukan saja menampilkan kesenjangan antara kaya dan miskin, tetapi juga menegaskan posisi masyarakat di antara tradisi dan modernitas
Tantangan keempat berkaitan keanekaragaman orientasi ideologis. Visi dan pengembangan masyarakat mencakup juga pemilihan suatu ideologis serta pelaksanaannya. Asia diombang-ambingkan di antara dua ideologi yang dominan yaitu kapitalisme dan sosialisme. Ternyata sekitar 46% penduduk Asia hidup di negara-negara sosialis. Pengalaman bahwa kedua ideologi itu tidak memadai, mengundang munculnya pemilihan berbagai ideologi pribumi, misalnya di Indonesia yang memilih Pancasila. Bila dikaji lebih mendalam, ternyata idologi Indonesia tidak dapat lepas dari ideoligi sosialisme, walaupun mengalami beberapa modifikasi. Menjadi pertanyaan bagi kita yang tinggal di Indonesia, apakah ideologi Pancasila tersebut memang sudah benar-benar memadai.

Adanya kesadaran Gereja Asia terhadap adanya berbagai tantangan tersebut di atas, melahirkan sikap dan pola baru dalam karya pewartaan di Asia. Pola baru dalam karya pewartaan di Asia adalah dengan dialog dan inkulturasi, dan kedua hal ini pula yang menjadi jalan misi mewartakan Kristus dan gerejaNya di Asia. Dialog membebaskan Gereja dari kecenderungan menjadi kemaat yang berorientasi diri, sebaliknya, dialog berarti menggabungkan diri dengan rakyat di segala bidang dan dimensi kehidupan. Dialog berlangsung dalam tiga bidang kehidupan yang saling berkaitan, yaitu hidup keagamaan, kebudayaan dan kemiskinan yang merata.

Sedangkan inkulturasi adalah dialog antara Injil yang dihayati secara perseorangan atau dalam persekutuan orang beriman sebagai gereja setempat di satu pihak, dan realitas Asia di pihak lain. Metodologi pokok inkulturasi adalah perjumpaan dialogis semua unsur proses inkulturasi itu. Proses dialogis inkulturasi terjadi dalam komunitas-komunitas atau jemaat-jemaat di mana umat menghayati situasi-situasi hidup bersama mereka di tengah-tengah realitas Asia. Proses inkulturasi dimulai pada tingkat kalangan bawah dalam dialog terus menerus dengan agama-agama, kebudayaan-kebudayaan dan kaum miskin. Proses inkulturasi itu kemudian harus disaring melalui ilmu-ilmu teologi, etnologi, dan antropologi untuk menemukan kesesuaian proses tersebut serta hasil-hasil akhir dengan tradisi gereja. Dengan cara ini hasil akhir tidak akan membawa kita kepada sinkretisme yang meragukan (yang kita tolak), tetapi kepada pengintegrasian - yang bersifat mendalam dan organis – segala sesuatu yang terbaik dalam cara-cara tradisional kita menjadi khasanah warisan kristiani kita.

Kesimpulan

Memang tidak bisa dipungkiri tantangan-tantangan yang dihadapi Gereja di Indonesia sangatlah berat. Tetapi itu semua tidak berarti tertutupnya segala peluang untuk maju dalam karya pewartaan Gereja. Jumlah umat yang sangat sedikit, memang di satu pihak merupakan kelemahan, tetapi jika dimengerti lebih dalam, itu juga merupakan peluang, yaitu masih sangat terbuka luasnya karya pewartaan Gereja di Indonesia. Walaupun umat Katolik di Indonesia minoritas, tetapi penaruhnya di masyarakat cukup besat, terutama di bidang karya kesehatan dan pendidikan. Selain itu orientasi pimpinan gereja setempat mempunyai dampak besar bagi kehidupan masyarakat, misalnya Surat Gembala Paskah KWI tahun 1997 yang menegaskan keprihatinan Gereja Indonesia terhadap kemerosotan moral masyarakat Indonesia secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik.

Tantangan dan peluang yang ada itu perlu ditindak lanjuti oleh Gereja dengan mengambil langkah-langkah yang bijaksana dan tepat untuk mewartakan Kabar Gembira. Dalam hal ini peran dialog dengan penganut iman yang berbeda dan inkulturasi Gereja dalam budaya-budaya lokal sangat penting dan dominan dalam mewartakan Kristus dan GerejaNya menjadi komunitas basis yang menyatu dengan masyarakat, sehingga benar-benar terwujud sebuah Gereja setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar