Jumat, 06 Mei 2011

Kebangkitan Yesus : Dasar Keselamatan Manusia Seutuhnya

SEBUAH KAJIAN
(Materi Katekese Dewasa)

Kebangkitan Yesus dan Hubungannya dengan Keselamatan Manusia

Perjanjian Baru mewartakan tanpa ragu-ragu bahwa Yesus telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati (Kis 13:30), dan karenanya Ia telah beralih dari kematian kepada kehidupan. Perjanjian Baru juga mencatat bahwa sesudah kebangkitanNya, Yesus berkali-kali menampakkan diri kepada para muridNya. Dalam penampakan-penampakan ini, Injil mencatat, bahwa Ia berusaha meyakinkan para muridNya bahwa Dia benar-benar telah bangkit dari kematian dan kini hidup (Lukas 24:41-43), siapa yang hadir di tengah-tengah mereka adalah Yesus yang telah mereka kenal dan telah bergaul akrab dengan mereka dahulu. Ia menunjukkan bukti-bukti fisik sampai kemudian para murid percaya bahwa Yesus benar-benar telah hidup (Yohanes 21:12). Tetapi kehidupan Yesus sesudah kebangkitanNya digambarkan oleh Kitab Suci sangat berbeda dengan hidup Yesus sebelum kematianNya. Ada perbedaan besar antara hidup sebelum dan sesudah kebangkitanNya. Kitab Suci menggambarkan adanya suatu kemampuan luar biasa yang ada pada diri Yesus, yang membuat Ia mampu mengatasi ruang dan waktu (Yohanes 20:19,26). Hidup yang ada pada Diri Yesus sesudah kebangkitanNya adalah hidup yang baru. Ia pun berusaha menjelaskan makna kematian dan kebangkitanNya (Lukas 24:25-27, 44-47) seraya memberi perintah pada para muridNya untuk mewartakan Injil (Matius 27:19-20, Markus 16:15) dan menjadi saksi akan semuanya yang telah terjadi itu (Lukas 24:48).

Kejadian Yesus yang bangkit dari kematian dan mengalami hidup baru bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, yang hanya menyangkut diri Yesus pribadi. Perjanjian Baru percaya bahwa bahwa apa yang dialami oleh Yesus menyangkut diri orang lain juga. Bahkan nuansa inilah yang sangat kental mewarnai pewartaan Injil dalam Perjanjian baru, yaitu bahwa Yesus yang telah mati dan dibangkitkan itu mewakili seluruh umat manusia, dan juga bahwa Ia menjadi yang pertama mengalaminya, untuk kemudian semua yang percaya kepadaNya akan mengalami hal serupa (Roma 8:29). Yesus yang telah mati karena dosa-dosa kita (1 Kor 10:4) dan kemudian dibangkitkan menjadi gambaran masa depan umat beriman. Jika Yesus tidak bangkit maka hidup manusia akan terus berakhir pada kematian. Kematian adalah nasib setiap manusia karena dosa Adam (Roma 6:23). Yesus yang bangkit digambarkan oleh Paulus sebagai Adam yang baru, yang membawa kehidupan dan keselamatan (Roma 5:17). Jadi di dalam Yesus yang dibangkitkan, maut telah dikalahkan dan manusia memperoleh harapan akan kehidupan dan keselamatan. Keselamatan yang digambarkan dalam Perjanjian Baru adalah kehidupan baru (1 Kor 5:17, Roma 6:4-5). Kehidupan baru yang dilukiskan dalam Kitab Suci jauh lebih mulia, melebihi eksistensi kehidupan lama (sebelum kebangkitan) dalam diri manusia Yesus. Dengan kebangkitan, kehidupan benar-benar diperbarui.

Hidup baru yang digambarkan dalam Perjanjian Baru berarti juga bahwa kehidupan yang lama telah ditinggalkan. Kehidupan lama digambarkan oleh Paulus sebagai kehidupan menurut daging yang penuh dosa (Gal 5:16-26, Ef 5:1-21), yaitu masih adanya keterikatan pada perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan menodai martabat manusia. Kebangkitan Yesus dapat juga dipandang sebagai penciptaan kembali (Lumen Gentium (LG) 7, 48), artinya pembaharuan hidup manusia seluruhnya. Kebangkitan diartikan sebagai sebuah penyempurnaan penciptaan dan eksistensi yang baru itu sebagai peningkatan eksistensi yang lama. Tindakan penyelamatan Allah lewat pembangkitan bermaksud untuk mengoreksi segi negatif dari ciptaan, yaitu dosa, untuk kemudian menyempurnakan segi yang positif. Jadi ciptaan (manusia) yang telah berada dalam jalan menuju kematian karena dosa, dalam Kristus yang dibangkitkan menemukan kembali jalan menuju kehidupan dan keselamatan.



Keselamatan Manusia Seutuhnya.

Sejak semula Allah telah menciptakan manusia begitu baik (Kejadian 1:31). Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri (Kejadian 1:25). Jasmani dan rohani manusia adalah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan (Gaudium et Spes (GS) 14). Manusia yang satu, dan terdiri dari jasmani maupun rohani, semestinya menjalankan kehidupannya dengan seimbang, memenuhi kebutuhan rohaninya sebagaimana ia memenuhi setiap kebutuhan jasmaninya (Matius 4:4). Tidak dibenarkan mengutamakan salah satu untuk kemudian mengalahkan segi yang lain. Keduanya adalah ciptaan Allah yang baik, dan semua haruslah dapat digunakan untuk memuliakan Allah. Bahkan Gereja menganggap bahwa mereka yang terlalu menitikberatkan kehidupannya pada hal-hal rohani dan lalu mengabaikan tugas-tugas duniawinya sebagai orang-orang yang menyeleweng dari kebenaran (GS 43). Tetapi hal itu tidak pula berarti bahwa Gereja menganjurkan umat untuk selalu menitikberatkan pola hidupnya pada hal-hal duniawi, lalu menjauhkan hidup duniawinya dengan hidup rohaninya. Keduanya mesti berjalan bersama, serasi dan seimbang.

Manusia, yang diciptakan Allah terdiri dari jiwa dan raga itu, sejak semula dipanggil untuk menikmati keselamatan, dan itu semua digenapi berkat kebangkitan Yesus. Dalam diri Yesus yang dibangkitkan, manusia kembali menemukan jalan menuju keselamatan. Tetapi keselamatan tidak boleh hanya memikirkan segi rohani semata, tetapi juga harus juga mengupayakan keselamatan jasmani. Bagaimanakah mewujudkan keselamatan jasmani? Keselamatan jasmani meliputi keselamatan manusia dengan berbagai kebutuhan-kebutuhannya akan hidup yang layak dan manusiawi. Dalam arti negatif, maka keselamatan tidak hanya menyangkut perlawanan terhadap kekuatan jahat yang mempengaruhi manusia untuk berbuat jahat, tetapi keselamatan itu harus diwujudkan secara konkret dalam hidup sehari-hari, yaitu suatu keadaan dimana kebutuhan manusia akan hidup yang layak dan manusiawi terpenuhi. Keselamatan itu dicapai dan diwujud-nyatakan dengan berusaha mewujudkan kehidupan yang layak dan manusiawi. Maka pola-pola kehidupan yang tidak layak dan tidak manusiawi adalah juga tantangan utama keselamatan, yang mengancam keselamatan manusia seutuhnya, jasmani dan rohani.

Yesus sendiri dalam karya-karyaNya semasa hidupNya di dunia, menunjukkan dengan sangat nyata bahwa keselamatan yang dikerjakanNya menyangkut segi-segi kehidupan manusia seutuhnya. Ia tidak hanya memberi kesadaran dan penerangan yang baru akan Allah dan kehendakNya, tetapi juga berkarya memperbaiki kehidupan manusia. Penyembuhan-penyembuhan yang dikerjakannya manyangkut diri manusia seluruhnya, bukan semata penyembuhan jiwanya saja, tetapi juga keseluruhan diri manusia.. Hal ini juga terlihat dalam cara Yesus berbuat baik; Ia tidak hanya bersabda saja, melainkan sekaligus bertindak: menyapa dan berkomunikasi , menanyakan kebutuhan , mencukupi kebutuhan , memberi makan , menyembuhkan dan seterusnya, sehingga sabda dengan tindakanNya merupakan suatu kesatuan yang menyelamatkan (J Sutopo SJ., Mysterium Christi: Pendjelasan Indjil Markus Bagian ke-I,1,1-8,26, Jajasan Kanisius, 1970 hal.107-108). Sesudah kebangkitanNya, Yesus juga masih bergaul akrab dengan manusia dan melakukan tindakan-tindakan manusiawi. Dan sebelum terangkat ke surga, Yesus memberikan perintah untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia, dan dengan itu pula mempercayakan tugas perutusan DiriNya di dunia kepada para muridNya. Atas dasar inilah Gereja menjalankan karya perutusanNya menyelamatkan manusia.

Tugas perutusan ini dilaksanakan oleh Gereja (Ad Gentes (AG) 2) dalam berbagai cara. Keselamatan yang diwartakan oleh Gereja, sebagaimana teladan Yesus, tidak melulu masalah rohani, tetapi menyangkut hidup manusia seutuhnya, termasuk segala kebutuhan dan kesejahteraan manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Gereja dalam dokumen Konsili Vatikan II menjelaskan: dimana saja ada orang yang kekurangan makanan dan minuman, kekurangan pakaian, perumahan, obat-obatan, pekerjaan, pendidikan kemudahan yang diperlukan untuk hidup benar-benar sebagai manusia; dimana saja ada orang yang tersiksa karena kesehatan yang rapuh, yang menderita karena dibuang dan ditahan, di situ cinta kasih kristen harus mencari dan menemukan mereka, menghibur mereka dengan perawatan yang intensif serta meringankan beban mereka dengan bantuan yang diberikan (Apostolicam Actuositatem (AA) 8).

Bahkan Gereja lebih lanjut menjelaskan bahwa segala suka dan duka yang dialami oleh manusia pada umumnya adalah juga suka dan duka umat kristen (GS 1). Jadi tidak boleh ada seorangpun yang berdiam diri saja dan tidak peduli jika melihat/menyaksikan atau mendengar tentang kesusahan yang sedang menimpa sesama dimana saja. Terutama di jaman ini, mendesak kewajiban untuk menjadikan diri kita sesama bagi siapa saja dan untuk membantunya dengan pelayanan yang aktif (GS 2).

Karya perutusan ini bukanlah tanpa tantangan. Di masa sekarang ini, banyak tumbuh budaya-budaya kematian yang menentang kehidupan. Konsili Vatikan II menjelaskan lebih lanjut tentang budaya melawan kehidupan itu dalam Dokumen Gaudium et Spes artikel 27 :
  • “Seperti setiap jenis pembunuhan, pembasmian ras atau suku, pengguguran, eutanasia dan bunuh diri secara sukarela, segala yang memperkosa keutuhan pribadi manusia seperti pengudungan, penganiayaan badan atau jiwa, dan percobaan memaksa orang secara kejiwaan; segala sesuatu yang menghina martabat manusia seperti persyaratan hidup di bawah taraf manusiawi, penahanan sewenang-wenang, deportasi, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan kaum muda, demikian pula persyaratan kerja yang memalukan, yang memperlakukan buruh melulu sebagai alat mencari keuntungan dan bukan sebagai pribadi yang bebas dan bertanggung jawab, adalah perbuatan yang memalukan dan sangat menentang kehormatan Allah Pencipta.”
Semua hal-hal ini adalah tantangan-tantangan bagi karya perutusan yang harus dilaksanakan oleh Gereja menyangkut keselamatan manusia seutuhnya.

Di Asia sendiri, di benua yang dihuni hampir 2/3 dari populasi kehidupan manusia di dunia ini , sebagian besar penghuninya adalah kaum miskin dengan berbagai permasalahannya, seperti pengungsi, buruh migran ilegal, penderita HIV/AIDS dan penyakit-penyakit akut, prostitusi, anak-anak jalanan dan para pekerja anak-anak, kerusakan lingkungan akibat polusi dan lain-lain (FABC Paper no.92l: Seventh Plenary Assembly, Workshop Discussion Guide: A Church in Universal Harmony and Solidarity Through Justice and Peace, by Anthony Rogers FSC.). Maka FABC dalam sidangnya yang ke-VII di Thailand juga menitikberatkan perhatiannya pada kaum miskin dan mereka yang selama ini menjadi kurban, yaitu (1) kaum muda, (2) wanita, (3) keluarga, (4) kaum pinggiran, (5) buruh migran dan pengungsi (FABC Paper no.93, A Renewal Church in Asia: A Mission of Love and Service, The Final Statement of The Seventh Assembly of FABC, Samphran, Thailand, January 3-12, 2000).

Bagaimana di Indonesia? Tampaknya apa yang diungkapkan oleh FABC juga menjadi gambaran masyarakat Indonesia saat ini. Di Indonesia terjadi kemerosotan moral yang demikian parah dan telah berakar di segala lapisan masyarakat (Surat Gembala Prapaskah Konferensi Waligereja Indonesia 1997: Keprihatinan dan Harapan). Kemerosotan moral ini disebabkan oleh pengaruh budaya-budaya yang merusak dan juga dari contoh-contoh dipengaruhi oleh masyarakat dewasa ini yang sering menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan tatanan dalam masyarakat. Sedemikian parah kemerosotan moral yang terjadi sampai-sampai dalam beberapa kasus sebuah kesalahan tidak lagi dipandang sebagai salah, karena sudah biasa dilakukan dalam masyarakat.

Selain itu, sebagian besar masyarakat hidup di kalangan menengah ke bawah. Sejak krisis moneter tahun 1997 yang belum juga berakhir sampai saat ini, jumlah penduduk miskin semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pengangguran karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), ataupun karena harga-harga yang sudah diluar batas daya beli masyarakat. Di sinilah, Gereja, khususnya di Indonesia, perlu mengusahakan usaha-usaha sosial untuk menolong mereka dari keterpurukannya. Usaha-usaha sosial tersebut dapat berupa karya karitatif, karya sosial, maupun karya transformatif/pemberdayaan (JB. Banawiratma, SJ, Keterlibatan Gereja di Tengah Krisis, dalam buku: Menyongsong Jubileum Agung tahun 2000: Allah Bapa menyayangi Semua Orang, Sekretariat PSE/APP-KAJ dan LDD-KAJ, Jakarta Maret 1999).

Karya karitatif adalah upaya memberikan bantuan langsung kepada kaum miskin secara individual, seperti para janda, anak yatim piatu dan lainnya. Karya karitatif dalam Kitab Suci dapat ditemukan dalam Kisah Para Rasul tentang pola hidup Gereja perdana. Karya sosial dilakukan dengan memberikan pekerjaan atau jalan agar kaum miskin mendapat pekerjaan supaya dapat menemukan penghasilannya sendiri. Sedangkan karya Transformatif / pemberdayaan dilakukan dengan memberi keterampilan agar mereka dapat secara mandiri menghasilkan sesuatu bagi penghidupan dan pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari. Perkembangan keadaan dan praktek semacam itu tidak berarti karya karitatif dan karya sosial tidak perlu lagi. Orang kelaparan perlu segera makan supaya tidak mati; orang sakit parah perlu ditolong supaya sembuh; banyak kaum muda memerlukan pendidikan supaya dapat mencari sumber kehidupan. Namun demikian hal itu belum cukup, karena masih diperlukan karya yang mengusahakan supaya orang-orang miskin tidak kelaparan, supaya mereka tidak sakit parah, supaya mereka dapat ikut aktif memelihara dan melestarikan sumber-sumber kehidupan. Usaha-usaha sosial Gereja sebagaimana tersebut di atas bukanlah semata tugas komisi/seksi tertentu, misalnya Komisi PSE atau Seksi Sosial, entah dalam tingkat paroki atau keuskupan, melainkan panggilan dan tugas semua orang Kristen. Oleh karena itu semua orang kristen, secara pribadi, yang juga telah dipanggil untuk tugas perutusan bagi karya keselamatan manusia seutuhnya (AA 18), juga semestinya ikut serta dalam usaha memajukan kesejahteraan sesama sebagai upaya keselamatan manusia seutuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar