Senin, 18 Juli 2011

PRODIAKON

Tinjauan singkat berdasarkan Redemptionis Sacramentum dan Pedoman Umum Misale Romawi.

Kebanyakan orang memandang prodiakon adalah bentuk nyata dari partisipasi aktif umat beriman dalam kegiatan liturgi. Umumnya mereka yang berpendapat demikian mendasarkan pendapatnya pada dokumen-dokumen Konsili Vatikan II yang membuka keran luas bagi peningkatan peran awam dalam kehidupan menggereja.

Namun pendapat ini ternyata bertentangan langsung dengan instruksi Redemptionis Sacramentum (RS) yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 2004, dimana pada artikel 151 disebutkan "Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan Liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat."

Tugas utama seorang prodiakon adalah membantu imam membagikan komuni dalam perayaan Ekaristi di gereja. Uskup dapat menambah tugas bagi mereka tergantung situasi umat setempat, seperti untuk membawa komuni bagi orang sakit dan memimpin ibadat sabda.



Nama "prodiakon" sendiri adalah khas Indonesia yang pertama kali dipakai di Keuskupan Agung Semarang sekitar tahun 80an. Nama lain yang umum dipakai adalah asisten imam atau asisten pastoral. Nama prodiakon sendiri secara harafiah berarti "seperti diakon", istilah yang kurang tepat mengingat RS sendiri mengingatkan bahaya pengaburan hubungan antara klerus dengan awam, dalam arti pelayanan awam mengalami klerikalisasi sedangkan kalangan klerus mengalami awamisasi (RS 45).

Redemptionis Sacramentum mendefinisikan nama yang paling tepat untuk prodiakon, yaitu "pelayan tak lazim Komuni Suci" (RS 156). Disebut "tak lazim" karena pelayan komuni yang sesungguhnya adalah mereka yang ditahbiskan, yaitu Uskup, Imam, dan Diakon. Jika dalam sebuah misa jumlah pelayan komuni tertahbis mencukupi, maka tidak diperlukan prodiakon (RS 157). Juga tidak dibenarkan seorang imam yang menyerahkan tugas membagi komuni kepada prodiakon sedangkan ia sendiri tidak melakukan tugas itu.

Pernah dalam suatu kesempatan menghadiri misa pernikahan di salah satu paroki, umat yang hadir tidak terlalu banyak hanya sekitar 30 orang, namun pada saat penerimaan komuni dilayani oleh dua orang prodiakon. Bisa ditebak, imam yang memimpin perayaan hanya membagi komuni kepada pengantin dan orangtuanya, sedangkan umat lainnya dilayani oleh prodiakon. Praktek seperti ini sungguh tidak tepat jika mengacu kepada RS 157, toh membagi komuni kepada 30 orang tidak akan memakan banyak waktu. Begitu pula pada misa harian dimana umat yang hadir tidak terlalu banyak.

Prodiakon juga tidak lepas dari pelanggaran liturgi, yang umumnya melibatkan pastor paroki. Yang masih sering terjadi adalah homili saat misa yang dibawakan oleh prodiakon. Homili adalah kewajiban imam atau diakon yang tidak bisa dialihkan kepada seorang awam. Hanya dalam kasus-kasus tertentu dimana suatu tempat kekurangan imam dibolehkan seorang awam membawakan homili, itupun harus di luar konteks misa (RS 161).

Masih sering terjadi pula prodiakon yang ketika menyambut komuni, mengambil hosti sendiri dan mencelupkannya sendiri pula ke dalam piala. Padahal umat awam tidak diperkenankan menyambut komuni dua rupa dengan cara demikian (RS 104). Seorang awam, jika menerima komuni dalam dua rupa menerima hosti yang sudah dicelupkan ke anggur, harus dari tangan imam dan menerimanya di lidah (RS 103).

Walaupun seorang prodiakon memang dikhususkan untuk membantu imam membagi komuni, ia tidak boleh mengabaikan sifat bantuan itu, dan harus selalu ingat bahwa pelayan komuni yang sesungguhnya adalah imam. Maka, prodiakon baru boleh menghampiri altar setelah imam menyambut komuni dan selalu menerima dari tangan imam bejana kudus yang berisi Tubuh atau Darah Kristus untuk dibagikan kepada umat beriman (lihat PUMR 162). Dengan demikian nampak jelas peran imam sebagai pelayan komuni yang sejati, dan prodiakon sebagai pelayan yang membantu imam membagikan komuni.

Akhir kata, peran prodiakon harus dipandang sebagai akibat dari kurangnya tahbisan suci, sedangkan umat sangat membutuhkan pelayan-pelayan demi menunjang kehidupan rohaninya. Semua umat, khususnya prodiakon, harus terlibat dalam usaha meningkatkan panggilan untuk tahbisan suci, utamanya lewat doa-doa dan mendorong anak-anaknya untuk menjadi imam.

2 komentar:

  1. Terima kasih masukkannya, semoga dapat membuat kami lebih berhati-hati dalam tugas prodiakon

    BalasHapus