Selasa, 01 November 2011

Sulitnya Menggapai Kesucian di Masa Kini

Hari ini gereja memperingati Hari Raya Semua Orang Kudus. Asal mula yang tepat dari perayaan ini tidak diketahui dengan pasti, walau, sesudah disahkannya kekristenan pada tahun 313 M, suatu peringatan umum demi menghormati para kudus, khususnya para martir, muncul di berbagai wilayah di segenap penjuru Gereja. Sebagai contoh di Timur, kota Edessa merayakan pesta ini pada tanggal 13 Mei; Siria merayakannya pada hari Jumat sesudah Paskah; kota Antiokhia merayakannya pada hari Minggu pertama sesudah Pentakosta. Baik St Efrem (wafat 373) dan St Yohanes Krisostomus (wafat 407) menegaskan akan adanya perayaan ini dalam khotbah mereka. Di Barat, suatu peringatan demi menghormati semua orang kudus juga dirayakan pada hari Minggu pertama sesudah Pentakosta. Alasan utama menetapkan suatu pesta umum ini adalah karena kerinduan untuk menghormati sejumlah besar martir, teristimewa yang wafat dalam masa penganiayaan oleh Kaisar Diocletion (284-305), yaitu masa penganiayaan yang paling luas, keji dan bengis. Singkatnya, tidak akan ada cukup hari dalam satu tahun apabila masing-masing martir dirayakan tersendiri, lagipula kebanyakan dari para martir ini wafat dalam kelompok. Sebab itu, suatu pesta umum bagi semua orang kudus, dianggap paling tepat.

Penetapan tanggal 1 November sebagai Hari Raya Semua Orang Kudus berkembang seturut berjalannya waktu. Paus Gregorius III (731-741) mempersembahkan suatu oratorium di Basilika St Petrus yang asli demi menghormati semua orang kudus pada tanggal 1 November (setidaknya demikian menurut beberapa catatan), maka kemudian tanggal ini menjadi tanggal resmi untuk merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus di Roma. St. Beda (wafat 735) mencatat HR Semua Orang Kudus dirayakan pada tanggal 1 November di Inggris, dan perayaan serupa juga ada di Salzburg, Austria. Ado dari Vienne (wafat 875) menceritakan bagaimana Paus Gregorius IV meminta Raja Louis yang Saleh (778-840) untuk memaklumkan tanggal 1 November sebagai HR Semua Orang Kudus di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi yang Kudus. Buku Doa Misa dari abad ke-9 dan ke-10 juga menempatkan HR Semua Orang Kudus dalam penanggalan liturgi pada tanggal 1 November.

Menurut seorang sejarahwan Gereja perdana, John Beleth (wafat 1165), Paus Gregorius IV (827-844) secara resmi memaklumkan tanggal 1 November sebagai HR Semua Orang Kudus, memindahkannya dari tanggal 13 Mei. Tetapi, Sicard dari Cremona (wafat 1215) mencatat bahwa Paus Gregorius VII (1073-85) akhirnya menghapus tanggal 13 Mei dan mengamanatkan 1 November sebagai tanggal perayaan HR Semua Orang Kudus.

Di masa lalu kekudusan identik dengan kemartiran. Bilamana karena imannya seorang kristen pengikut Yesus menderita bahkan menumpahkan darah, maka ia disebut martir. Hal ini terjadi terutama di masa awal Gereja berdiri. Tidak terhitung jumlah kaum beriman yang dibunuh untuk menghadang laju perkembangan iman kristiani. Namun kenyataannya: dimana darah martir tertumpah, di situ justru panggilan iman melimpah. Kejahatan manusia tidak mampu menghambat karya Roh Kudus. Di masa kini karya kemartiran nampak dalam perjuangan umat manusia menegakkan kebenaran, keadilan dan kejujuran yang bersumber dari hati nurani yang bersih. Masalahnya adalah kini hal itu sudah menjadi barang langka. Dimana budaya manusia justru menampakkan kebrobrokan moral, upaya menegakkan kebenaran justru dipandang sebagai penghambat kemajuan. Padahal hasil apapun yang dicapai dari ketidakjujuran adalah awal dari kehancuran. Pelajaran berharga bagaimana sulitnya menjadi orang kudus di masa kini nampak dalam perjuangan manusia kecil berikut :

Si Jujur yang Malah Hancur


Siami tak pernah membayangkan niat tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya malah menuai petaka. Warga Jl Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Surabaya, itu diusir ratusan warga setelah ia melaporkan guru SDN Gadel 2 yang memaksa anaknya, Al, memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional pada 10-12 Mei 2011 lalu. Bertindak jujur malah hancur!

Teriakan “Usir, usir…tak punya hati nurani,” terus menggema di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, Kamis (9/6/2011) siang. Ratusan orang menuntut Ny Siami meninggalkan kampung. Sementara wanita berkerudung biru di depan kerumunan warga itu hanya bisa menangis pilu. Suara permintaan maaf Siami yang diucapkan dengan bantuan pengeras suara nyaris tak terdengar di tengah gemuruh suara massa yang melontarkan hujatan dan caci maki.
Keluarga Siami dituding telah mencemarkan nama baik sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali, warga menggelar aksi unjuk rasa, menghujat tindakan Siami. Puncaknya terjadi pada Kamis siang kemarin. Lebih dari 100 warga Kampung Gadel Sari dan wali murid SDN Gadel 2 meminta keluarga penjahit itu enyah dari kampungnya.

Padahal, agenda pertemuan tersebut sebenarnya mediasi antara warga dan wali murid dengan Siami. Namun, rembukan yang difasilitasi Muspika (Musyarah Pimpinan Kecamatan Tandes) itu malah berbuah pengusiran. Mediasi itu sendiri digelar untuk menuruti tuntutan warga agar keluarga Siami minta maaf di hadapan warga dan wali murid.

Siami dituding sok pahlawan setelah melaporkan wali kelas anaknya, yang diduga merancang kerjasama contek-mencontek dengan menggunakan anaknya sebagai sumber contekan. Sebelumnya, Siami mengatakan, dirinya baru mengetahui kasus itu pada 16 Mei lalu atau empat hari setelah UN selesai. Itu pun karena diberi tahu wali murid lainnya, yang mendapat informasi dari anak-anak mereka bahwa Al, anaknya, diplot memberikan contekan. Al sendiri sebelumnya tidak pernah menceritakan ‘taktik kotor’ itu. Namun, akhirnya sambil menangis, Al, mengaku. Ia bercerita sejak tiga bulan sebelum UN sudah dipaksa gurunya agar mau memberi contekan kepada seluruh siswa kelas 6. Setelah Al akhirnya mau, oknum guru itu diduga menggelar simulasi tentang bagaimana caranya memberikan contekan.

Siami kemudian menemui kepala sekolah. Dalam pertemuan itu, kepala sekolah hanya menyampaikan permohonan maaf. Ini tidak memuaskan Siami. Dia penasaran, apakah skenario contek-mencontek itu memang didesain pihak sekolah, atau hanya dilakukan secara pribadi oleh guru kelas VI. Setelah itu, dia mengadu pada Komite Sekolah, namun tidak mendapat respons memuaskan, sehingga akhirnya dia melaporkan masalah ini ke Dinas Pendidikan serta berbicara kepada media, sehingga kasus itu menjadi perhatian publik.

Dan perkembangan selanjutnya, warga dan wali murid malah menyalahkan Siami dan puncaknya adalah aksi pengusiran terhadap Siami pada Kamis kemarin. Situasi panas sebenarnya sudah terasa sehari menjelang pertemuan. Hari Rabu (8/6), warga sudah lebih dulu menggeruduk rumah Siami di Jl Gadel Sari Barat.Demo itu mendesak Ny Siami meminta maaf secara terbuka. Namun, Siami berjanji menyampaikannya, Kamis.

Pertemuan juga dihadiri Ketua Tim Independen, Prof Daniel M Rosyid, Ketua Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dindik Tandes, Dakah Wahyudi, Komite Sekolah, dan sejumlah anggota DPRD Kota Surabaya. Satu jam menjelang mediasi, sudah banyak massa terkonsentrasi di beberapa gang.

Pukul 09.00 WIB, tampak Ny Siami ditemani kakak dan suaminya, Widodo dan Saki Edi Purnomo mendatangi Balai RW. Mereka berjalan kaki karena jarak rumah dengan balai pertemuan ini sekitar 100 meter. Massa yang sudah menyemut di sekitar balai RW langsung menghujat keluarga Siami.
Mereka langsung mengepung keluarga ini. Beberapa polisi yang sebelumnya memang bersiaga langsung bertindak. Mereka melindungi keluarga ini untuk menuju ruang Balai RW. Warga kian menyemut dan terus memadati balai pertemuan. Ratusan warga terus merangsek. Salah satu ibu nekat menerobos. Namun, karena yang diizinkan masuk adalah perwakilan warga, perempuan ini harus digelandang keluar oleh petugas.

Mediasi diawali dengan mendengarkan pernyataan Kepala UPT Tandes, Dakah Wahyudi. Ia menyatakan bahwa seluruh kelas VI SDN Gadel 2 tidak akan kena sanksi mengulang UN. Ucapan Dakah sedikit membuat warga tenang. Namun, situasi kembali memanas. Apalagi Ny Siami tidak segera diberi kesempatan menyampaikan permintaan maaf secara langsung.

Kemudian warga diminta kembali mendengarkan paparan yang disampaikan Prof Daniel Rosyid. Ketua tim independen pencari fakta bentukan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ini berusaha menyejukkan warga dengan menyebut dirinya asli Solo. Dikatakan bahwa Solo, Surabaya adalah juga Indonesia, sehingga setiap warga tidak berhak mengusir warga Indonesia. Kemudian dia berusaha berdialog santai dengan warga. Ada salah satu warga menyeletuk. “Kalau kita dikatakan menyontek massal. Lantas, kenapa saat menyontek pengawas membiarkannya,” ucap salah satu ibu yang mendapat tepukan meriah warga lain.

Warga juga menyatakan bahwa menyontek sudah terjadi di mana-mana dan wajar dilakukan siswa agar bisa lulus. Mendengar hal ini, Daniel kemudian memperingatkan bahwa perbuatan menyontek adalah budaya buruk. Di masyarakat manapun, perbuatan curang dan tidak jujur ini tidak bisa ditoleransi.

”Menyontek adalah awal dari korupsi. Jika perbuatan curang ini sudah dianggap biasa, maka ini akan membuka perilaku yang lebih menghancurkan masyarakat. Tentu tidak ada yang mau demikian,” sindir Daniel.

Kemudian mediasi dilanjutkan dengan menghadirkan Kepala SDN Gadel 2, Sukatman. Akibat kasus contekan massal di sekolahnya, Sukatman dan dua guru kelas VI dicopot. Sukatman menyampaikan permintaan maaf kepada wali murid. Namun wali murid menyambut dengan teriakan bahwa Sukatman tidak salah. Yang dianggap salah adalah keluarga Siami karena membesar-besarkan masalah. Warga pun kembali berteriak “usir… usir”. Namun warga mulai tenang karena Sukatman tempak menghampiri Ny Siami dan suaminya. Mantan Kasek ini langsung meraih tangan ibunda Al dan saling meminta maaf. Namun, setelah itu warga kembali riuh rendah.

Setelah Siami diberi kesempatan berbicara, keributan langsung pecah. Suara massa di luar balai RW terus membahana, menghujat keluarga Siami. Padahal saat itu, Siami sedang menyiapkan mental dengan berdiri di hadapan warga. Meski sudah berusaha tegar, namun ibu dua anak ini mulai lemah. Dia tampak berdiri merunduk sementara kedua matanya sudah mengeluarkan air mata. “Saya minta maaf kepada semua warga…” ucap Siami yang tak sanggup lagi meneruskan kalimatnya.
Namun, sang suami terus membimbing, membuat perempuan ini kembali melanjutkan pernyataan maaf. Namun, suasana kian ricuh karena massa terus berteriak “usir”. Baik petugas polisi dan tokoh masyarakat berusaha menenangkan situasi. Baru kemudian kembali terdengar suara Siami.
Dengan tangan gemetar dan ketegaran yang dipaksakan, Siami kembali berucap, “Saya tidak menyangka permasalahan akan seperti ini. Saya hanya ingin kejujuran ada pada anak saya. Saya sebelumnya sudah berusaha menyelesaikan persoalan dengan baik-baik.”

Pernyataan tulus Siami tidak juga membuat massa tenang, sampai akhirnya polisi memutuskan untuk mengevakuasi Siami dan keluarganya. Siami diarahkan ke mobil polisi dengan pengamanan pagar betis. Namun massa tetap berusaha merangsek, ingin meraih tubuh Siami. Sejumlah warga bahkan sempat menarik-narik kerudung Siami hingga hampir terlepas. Siami akhirnya berhasil diamankan ke Mapolsek Tandes.

Baik Ny Siami dan suaminya enggan memberi komentar usai kericuhan. Namun, kakak kandung Siami, Saki, mengakui bahwa adiknya saat ini dalam tekanan yang luar biasa. “Dia tak tahan lagi dengan tekanan warga. Sampai tidak mau makan hari-hari ini. Nanti kami akan merasa tenang jika di Gresik,” kata Saki. Benjeng, Gresik adalah daerah asal Siami. Saat ini Al, anak Siami yang dipaksa memberi contekan, juga diungsikan ke Benjeng setelah rumahnya beberapa kali didemo warga.
Sementara itu, Ny Leni, perwakilan warga menyatakan bahwa pihaknya masih akan terus menuntut agar tiga guru yang dicopot tetap mengajar di SDN Gadel 2 dan menuntut Siami bertanggung jawab.

Budaya sakit

Prof Daniel M Rosyid yang juga Penasihat Dewan Pendidikan Jatim, menyesalkan tindakan warga Gadel yang berencana mengusir keluarga Siami, ibunda Al. “Tuntutan warga untuk mengusir keluarga Al tidak masuk akal. Itu tidak bisa dituruti,” katanya.

Daniel menilai tuntutan warga tersebut sudah tidak rasional. Perbuatan benar yang dilakukan ibu Al, Siami, dinilai warga justru malah salah. Tindakan menyontek rupanya sudah mengakar dan menjadi kebiasaan bahkan budaya di masyarakat. “Warga ternyata sakit,” katanya.


dari Kompas.com, Rabu, 15 Juni 2011.

Renungan bagi kita semua : Masihkah kita secara konsisten memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kejujuran sebagai pengikut Yesus? Beranikah kita menanggung salib demi itu semua, menggapai kesucian - bahkan mungkin dengan menjadi martir - sebagai pembela kebenaran, keadilan dan kejujuran di masyarakat yang sedang sakit ini?
Beranikah Anda ?


Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar