Sabtu, 17 Desember 2011

Menghirup Udara Katolik

Oleh : David Palm

Saya dan istri dibesarkan sebagai Protestan Evangelikal, dan jika anda memberitahu kami setahun yang lalu bahwa kami akan menjadi Katolik sekarang, kami pasti akan tertawa. Menjadi Katolik bukan merupakan prospek yang kami sukai. Ketika kami pertama kali mulai dipengaruhi secara positif menyangkut hal-hal Katolik, perasaan kami bisa digambarkan sebagai berikut: "Kami telah bertemu sang musuh, dan ialah diri kami sendiri."

Saya menyesal harus menggambarkan hubungan antara kelompok Protestan Evangelikal tertentu dan Gereja Katolik dalam bahasa yang bermusuhan, tetapi demikianlah adanya ketika kami dibesarkan. Kami diajarkan bahwa Gereja Katolik telah merampas kedudukan Alkitab dengan menambahkan lapisan demi lapisan "tradisi manusia" terhadapnya dan bahwa Gereja Katolik menipu berjuta-juta orang dengan mengajarkan mereka bahwa mereka diselamatkan oleh perbuatan baik. Kami adalah Protestan yang setia. Tetapi sekarang, oleh rahmat Tuhan, kami telah melihat bahwa hanya dalam Gereja Katolik ada keutuhan iman Kristiani.

Perjalanan spiritual saya menuju iman Katolik dimulai ketika selesai dari akademi, saya masuk sebuah seminari Protestan Evangelikal yang ternama: Trinity Evangelical Divinity School. Seminari ini sangat terkenal di kalangan Evangelikal karena komitmennya kepada Alkitab sebagai satu-satunya otoritas bagi iman dan praktek Kristiani. Baik pengajar maupun mahasiswa/i-nya dengan keras dan tegas membela otoritas, inspirasi, dan kebenaran Alkitab. Hal ini tidak dilakukan secara tidak intelektual seperti gaya kaum "Fundamentalis". Kami mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani, metode eksegesis dan prinsip-prinsip hermenetik (metode penafsiran Alkitab), sejarah dan teologi. Kami membaca karya-karya para teologis liberal dan belajar untuk berdebat dengan mereka dengan memakai argumentasi-argumentasi mereka. Pendeknya, kami menganggap urusan Alkitab suatu urusan yang sangat serius. Sungguh suatu lingkungan yang memberi dorongan bagi kami untuk menggunakan daya pikir kami sendiri dan memformulasikan posisi-posisi teologis yang punya dasar kuat dengan bukti-bukti objektif yang tersedia dalam Alkitab.

Yang menarik adalah bahwa kami tidak pernah membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja Perdana, dan juga termasuk teolog Katolik manapun kecuali Santo Agustinus (karena dia dianggap sebagai semacam pendahulu Calvinisme) dan Santo Thomas Aquinas (karena dampak tulisannya terhadap pemikiran Kristen sangat menonjol sehingga sulit untuk diabaikan). Pada umumnya kami melompat dari jaman para Rasul langsung ke jaman reformasi Protestan, sehingga pengalaman saya terhadap ide-ide Katolik sungguh nyaris tidak ada sama sekali. Akan tetapi ada dua hal yang sangat mempengaruhi pemikiran saya terhadap Katolikisme, meskipun saya tidak menyadarinya pada waktu itu.



Pertama, ketika saya bersusah payah dengan Alkitab dan mempelajarinya dengan mendetail, saya mulai menyadari bahwa Alkitab tidak mendukung teologi seperti yang telah diajarkan kepada saya. Saya merubah posisi dari ajaran pre-milenialisme ke amilenialisme. Saya tidak lagi percaya pada kepercayaan Protestan yang umum seperti jaminan keselamatan mutlak bagi umat Kristen. Saya tidak lagi percaya pada doktrin Sola Fide (bahwa kita dibenarkan oleh iman saja), yaitu salah satu pilar Reformasi. Dan saya mulai memegang pandangan sakramental terhadap pembaptisan dan Perjamuan Kudus.

Saya merasa salah tempat secara teologis karena tidak ada satupun denominasi Protestan yang punya pandangan-pandangan yang sama seperti yang saya punyai, dan hal ini sangat mengganggu pikiran saya. Beberapa profesor saya meyakinkan saya bahwa sepanjang pandangan saya masih serasi dengan Alkitab dan masih termasuk dalam garis besar kepercayaan Kristen yang "ortodoks". Tetapi pendekatan yang netral terhadap doktrin Kristiani semacam ini membuat saya khawatir, apa dasar persatuan Kristen jika seseorang bisa memformulasikan doktrin-doktrin sesuai kepentingan dirinya sendiri? Bukankah karena hal inilah maka Protestanisme telah terpecah-belah dan terus terpecah sepanjang jaman?

Meskipun saya tidak merasa terpanggil untuk memulai suatu denominasi saya sendiri, saya juga tidak merasa nyaman secara teologis dalam denominasi-denominasi manapun yang ada. Saya memutuskan untuk menyimpan beberapa pandangan pribadi dalam hati, karena saya khawatir reaksi yang bisa timbul dari orang lain. Kekacauan menyangkut penafsiran Alkitab diantara umat Protestan membuat saya bertanya - setidaknya secara setengah sadar - apakah komitmen terhadap inspirasi dan otoritas Alkitab sungguh-sungguh bisa merupakan suatu faktor yang mempersatukan seperti yang dipercaya oleh kaum Evangelikal.

Faktor kedua yang merubah pemikiran saya adalah pengalaman dengan pandangan yang tidak ortodoks yang dipromosikan baik oleh pihak teolog-teolog Protestan yang liberal maupun kelompok-kelompok konservatif. Pendukung-pendukung pandangan ini menengok pada Alkitab untuk mendukung pendapat-pendapat mereka, tetapi banyak dari doktrin-doktrin mereka adalah hasil kreasi sendiri, bahwa doktrin-doktrin ini tidak pernah dipercaya oleh siapapun sepanjang sejarah Gereja.

Secara insting saya tahu bahwa ide-ide ini tidak ortodoks, bahkan banyak diantaranya jelas-jelas bertentangan dengan kredo-kredo (syahadat iman) yang dipegang oleh Gereja. Lantas apa yang menjadi standard ortodoksi bagi saya, Alkitab atau syahadat iman? Kalau saya condong kepada syahadat iman atau "iman Gereja yang universal" untuk menyatakan bahwa suatu doktrin tidak ortodoks, lantas bukankah saya menuruti sesuatu selain Alkitab saja? Ini menimbulkan suatu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: Apakah ortodoksi itu sebenarnya? Apa yang menjadi standar ortodoksi Kristen?

Saya mulai meragukan bahwa pasti tidak hanya Alkitab saja, karena tidak seorangpun dari kami setuju akan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Segala pendekatan Alkitabiah bisa dilawan dengan suatu interpretasi yang berbeda atau malahan penolakan sama sekali terhadap otoritas Alkitab. Saya semakin condong kepada syahadat-syahadat dan kepada "iman universal Gereja" yang rada tidak jelas, untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa apa yang saya percaya sifatnya ortodoks.

Saya tidak mengetahuinya pada saat itu, tetapi istri saya, Lorene, ternyata juga sedang dipersiapkan bagi perjalanan spiritual kami menuju Gereja Katolik. Sewaktu di akademi dia mengikuti kebaktian di gereja Reformed Baptist. Hal ini membawanya kepada pemahaman yang sakramental terhadap Perjamuan Kudus dan pada gilirannya dia mempengaruhi saya dengan doktrin ini.

Salah satu saudara perempuannya - yang suaminya dibesarkan secara Katolik - kadangkala menunjuk kepada kekacauan diantara kaum Protestan dan melontarkan pertanyaan bahwa bagaimana mereka semua bisa mengaku memiliki doktrin Kristen yang benar, tetapi berbeda pendapat dalam sekian banyak isyu. Istri saya tidak mampu menjawabnya dan menurutnya tidak ada jawabannya. Dia berpegang pada ide bahwa seseorang minta petunjuk Roh Kudus jika hendak membaca Alkitab. Ini jawaban yang rasanya tidak memuaskan tetapi hanya itulah yang bisa dia katakan.

Kira-kira dua tahun yang lalu saya ada di pasar-murah milik Salvation Army (=Bala Keselamatan) dan melihat-lihat buku bekas. Saya menemukan buku Katolikisme dan Fundamentalisme karangan Karl Keating dan membolak-balik halaman-halamannya karena rasa ingin tahu. Harganya cuma satu dollar, tapi nyaris saja saya taruh kembali karena bagaimanapun ini buku tentang teologi Katolik. Tetapi, saya berkata kepada diri saya sendiri, judul pasal-pasalnya sungguh menarik, dan rasanya tidak berbahaya untuk mengetahui apa pandangan Katolik tentang hal-hal ini.

Saya membeli buku tersebut dan mulai membacanya pada waktu menumpang kereta di pagi hari menuju ke arah Chicago. Saya berusaha membacanya secara simpatik dan mengakui bahwa kalau saya melihat dari sudut pandang Katolik - terutama menyangkut pandangan Katolik terhadap Alkitab - maka lantas teologi Katolik tampak koheren dan masuk akal. Buku tersebut menjernihkan salah persepsi saya terhadap apa yang sesungguhnya dipercaya oleh iman Katolik.

Saya menceritakan hasil observasi saya kepada istri saya. Ini suatu kesalahan langkah. Kami langsung terlibat dalam suatu perdebatan di kereta.
"Kamu tidak akan masuk Katolik, khan?" dia langsung menyemprot saya. Dia memberitahu saya sesudahnya bahwa pikirannya dipenuhi dengan, "Bagaimana saya bisa menjelaskan kepada keluarga saya tentang hal ini? Saya menikahi seminarian Protestan dan dia malah masuk Katolik!" Saya mengambil langkah mundur dan mengatakan kepadanya bahwa saya cuma bilang kalau... dan seluruh topik tersebut untuk sementara tidak kami ungkit-ungkit lagi.

Akan tetapi rasa hormat saya terhadap iman Katolik terus tumbuh. Saya sungguh mengagumi Sri Paus Yohanes Paulus II - posisinya yang tegas terhadap imoralitas, dan penolakannya untuk melunakkan pesan-pesannya kepada presiden Amerika Serikat dan kepada warga Amerika Serikat, dan panggilannya terhadap kaum muda Amerika untuk kembali kepada iman Kristen sungguh memukau saya. Saya membaca buku karangan Charles Colson yang berjudul The Body dan terkesan oleh peran yang dimainkan oleh Gereja Katolik dan Ortodoks dalam meruntuhkan komunisme. Saya melihat umat Katolik mengambil langkah-langkah dan memenuhi begitu banyak kebutuhan fisik dalam nama Kristus. Sudah lama saya kecewa dengan gereja-gereja Evangelikal kami karena karena banyak mengkritik problem-problem sosial tetapi tidak berbuat banyak untuk mengatasinya. Saya melihat umat Katolik di kota kami mempraktekan iman mereka - memberi makan kepada orang miskin, memberikan tumpangan bagi kaum gelandangan, merawat wanita-wanita yang hamil tanpa nikah dan anak-anak mereka.

Pada bulan Mei 1993, karena pernyataan-pernyataan pro-Katolik yang saya lontarkan pada suatu kegiatan Bible-study, sepasang suami istri yang kami kenal dari gereja Baptist yang sama, memberitahukan kami bahwa mereka sedang menyelidiki iman Katolik. Dave juga lulus dari seminari yang sama dengan saya, sehingga kami mempunyai latar belakang teologis yang sama. Kami berbincang-bincang selama seharian tentang hal-hal menarik yang kami temukan tentang Gereja Katolik. Ujung-ujungnya, saya meminjamkan buku karangan Karl Keating yang saya beli kepadanya sedangkan Dave meminjamkan saya sejumlah kaset rekaman temu-wicara oleh Scott Hahn, seorang mantan pendeta Presbiterian yang telah menjadi Katolik. Saya sangat menikmati kaset rekaman tersebut, tetapi pada saat itu saya tidak sepenuhnya terpengaruh oleh argumen-argumen Scott Hahn (baru nantinya saya menyadari betapa besar pengaruhnya terhadap saya).

Tidak banyak hal yang terjadi, agaknya, sampai bulan September, ketika Dave mengembalikan buku saya. Dia menceritakan bahwa dia telah mengundurkan diri dari dewan deakon di gereja kami dan bahwa dia beserta keluarganya mulai menghadiri Misa Kudus. Kami terkejut, tetapi penuh rasa ingin tahu. Saya melihat Dave sebagai idola spiritiual. Dia adalah seorang yang punya integritas, dan saya tahu bahwa Dave tidak akan main-main dalam hal semacam ini. Lorene dan saya tahu bahwa berita tentang Dave tidak akan diterima dengan baik di gereja Baptis kami, dan kami telah memutuskan untuk tetap menjaga persahabatan dan mendukung keputusan Dave dan istrinya .

Kami mengundang mereka beberapa minggu sesudahnya untuk berbincang-bincang. Kami hanya melontarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan, dan tidak berusaha untuk membuat mereka membatalkan keputusannya untuk menjadi Katolik, tetapi untuk mengetahui apa yang telah mendorong mereka membuat keputusan tersebut. Makin banyak kami berdiskusi kami makin penuh semangat. Satu demi satu doktrin-doktrin Katolik tampak berlandaskan Alkitab, logis, dan konsisten. Bahkan agaknya malah meliputi seluruh Alkitab, termasuk ayat-ayat yang sulit ditafsirkan, dan tidak memfokuskan diri terhadap sejumlah pilihan ayat-ayat tertentu. untuk mendukung suatu posisi. Tampaknya dari kerangka pemikiran Katolik, banyak dari ayat-ayat sulit tersebut tidak lagi menjadi suatu masalah.

Kami menemukan bahwa kami sungguh-sungguh telah salah persepsi terhadap umumnya ajaran iman Katolik yang sesungguhnya, dan selalu ada jawaban yang bagus terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kami miliki. Sahabat kami tersebut tinggal sampai tengah malam dan ketika mereka pulang, saya dan istri merasa seperti murid-murid Yesus dalam kisah perjalanan ke Emmaus. Telinga kami serasa terbakar oleh pengetahuan yang baru kami dapat. Akhir pekan itu tidak seorangpun dari kami bisa menyingkirkannya dari benak pikiran kami, kami bahkan nyaris tidak dapat tidur.

Istri saya membuat saya terheran-heran karena dia mulai bicara tentang kepastian kami untuk menjadi Katolik. Saya begitu shock karena tidak menyangka dia begitu terdorong menuju Katolik. Tetapi sekali dia mengerti prinsip-prinsip dasar tentang otoritas Sri Paus, peran Magisterium Gereja, dan peran Tradisi dalam doktrin Kristen, dia mengerti bahwa sisanya tinggal mengikuti saja. Saya sendiri belum sampai kesana. Saya punya banyak pertanyaan, meskipun saya harus mengakui bahwa dalam hati saya ingin semuanya benar.

Kami memulai eksplorasi yang serius terhadap iman yang baru ini. Sebagai hasil penyelidikan ini, saya menemukan bahwa dalam semua area teologis dimana saya berubah pandangan, saya ternyata telah atau sedang menuju ke arah doktrin Katolik yang ortodoks. Saya menjadi yakin bahwa umumnya "pengetahuan" saya akan iman Katolik setidak-tidaknya telah disalah-tampilkan atau malah jelas-jelas salah.

Di masa lalu, kalaupun saya tergerak untuk membaca tentang Katolik, saya selalu membaca dari sumber-sumber Protestan. Ini cenderung untuk memburuk-burukan iman Katolik dan seringkali, sengaja atau tidak sengaja, telah memberi penerangan yang salah tentang apa yang sesungguhnya
diajarkan oleh Gereja Katolik. Dengan membaca dari sumber-sumber Katolik tentang doktrin Katolik dan bukti-bukti yang mendukungnya sungguh merupakan suatu pengalaman yang membuka mata hati saya dan suatu tantangan. Saya dipaksa untuk mempertimbangkan kembali hal-hal yang tadinya saya terima mentah-mentah.

Melalui penyelidikan ini saya melihat bahwa meskipun reformasi Protestan disebut-sebut sebagai kembali kepada "Alkitab saja" dibanding dengan "tradisi-tradisi" Katolik, sesungguhnya paham-paham teologis yang terutama dari Reformasi Protestan sama sekali tidak punya dukungan dari Alkitab. Kaum Reformer memisahkan diri dengan Gereja Katolik pada dasarnya atas tiga doktrin: pembenaran oleh iman saja, Sola Scriptura atau bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas, dan penyangkalan terhadap doktrin transubstansiasi.

Sewaktu masih di seminari saya telah meninggalkan doktrin Sola Fide - bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja - karena bertentangan dengan Alkitab (lihat Yakobus 2:21-26, Roma 2:6-13, Galatia 5:6, Matius 12:36-37).

Poin selanjutnya bagi saya adalah sewaktu saya mulai percaya pada Kehadiran Sejati Kristus dalam Ekaristi. Saya sudah melihat Perjamuan Kudus sebagai suatu sakramen, tetapi sekarang saya melihat bahwa Alkitab bahkan mengajarkan lebih jauh lagi, bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus. Bahkan yang lebih mencengangkan buat saya adalah fakta bahwa ini merupakan pandangan ortodoks Gereja selama 1500 tahun sebelum para reformer Protestan datang dan meyakinkan umat Kristen dari aliran kami (Calvinis) bahwa tidak demikian adanya. Bahwa apa yang telah dipercaya oleh Gereja sepanjang berabad-abad dan dipegang sebagai misteri iman yang terbesar, sesungguhnya bukan misteri sama sekali, tetapi Cuma sekedar perayaan ulang.

Saya membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang paling terdahulu - Ignatius, Justin Martir, Irenaeus, Tertullian, Hippolytus, Agustinus - dan menemukan bahwa mereka semua percaya pada Kehadiran Sejati. Saya tidak lagi bisa memegang pernyataan aliran Protestan kami yang mengatakan bahwa berjuta-juta umat Kristen termasuk beberapa yang mengenal para Rasul secara pribadi, telah disesatkan oleh Roh Kudus sampai Calvin dan Zwingli datang dan membawa kebenaran. Meskipun para Reformer ini sendiri tidak bisa setuju satu sama lain apa arti Perjamuan Kudus, mereka semua memaksakan bahwa Gereja Katolik pasti salah!

Pijakan terakhir saya sebagai seorang Protestan adalah ketika Sola Scriptura - doktrin yang menyatakan bahwa Alkitab sebagai satu-satunya otoritas dalam hal iman - runtuh berkeping-keping. Saya telah membaca dari buku Karl Keating dan mendengar rekaman Scott Hahn bahwa doktrin tersebut tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahwasanya Alkitab tidak pernah mengaku sebagai satu-satunya sumber yang otoritatif terhadap iman kita. Banyak ayat-ayat menunjukkan bahwa tradisi-tradisi dari para rasul, apakah tertulis ataupun lisan, memiliki kuasa dan bahwa umat Kristen harus percaya dan mengikutinya (lihat terutama ayat 1 Korintus 11:2, 1 Tesalonika 2:13, 2 Tesalonika 2:15, 2 Timotius 2:2, 2 Petrus 3:1-3).

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja adalah pemelihara deposit iman seperti yang diwahyukan oleh Tuhan kepada para Rasul. Demikian juga Paulus, ketika dia menyebut Gereja (dan bukannya Alkitab) sebagai "pillar dan pondasi kebenaran" (1 Timotius 3:15). Sebelumnya saya selalu mengabaikan argumen ini meskipun saya tidak dapat menjawabnya. (saya terpikir tentang 2 Timotius 3:16 tetapi ayat ini hanya mengatakan bahwa Alkitab bermanfaat bagi koreksi, latihan, dan lain-lain , tetapi ini tidak sama dengan mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber bagi hal ini).

Di suatu petang, konsekuensi dari fakta-fakta ini kena telak. Fondasi dari Protestanisme telah disapu bersih. Kita kaum Protestan bersikeras bahwa segala doktrin kita harus punya dasar di Alkitab, tetapi doktrin Sola Scriptura itu sendiri tidak dapat ditemukan dalam Alkitab. Lantas saya menyadari bahwa posisi Protestan sungguh didasarkan atas inkoherensi logis.

Setelah saya menjadi yakin bahwa pendapat para Reformer ternyata salah semua di tiga hal diatas, maka tiada lagi dukungan yang tersisa bagi Reformasi sama sekali. Meskipun rasanya semua orang setuju, apakah Katolik atau Protestan, bahwa Gereja Katolik perlu reformasi selama jaman Luther (bahkan para Paus juga setuju), sulit bagi saya untuk percaya bahwa bisa dibenarkan untuk mereformasi Gereja dengan cara memecah-belahnya menjadi ribuan kelompok-kelompoik yang semuanya mengaku memegang doktrin yang benar tetapi menginterpretasikan Alkitab secara berbeda dan jarang sekali bekerja sama satu sama lain. Perpecahan dan perselisihan yang terus menerus terjadi, skisma demi skisma, yang merupakan sifat-sifat Protestanisme, sungguh sulit untuk dibenarkan dan jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab (Yohanes 10:16, 17:20-23, dan 1 Korintus 1-3).

Setelah melampaui semua hal ini dan banyak isu-isu lainnya, saya dan istri merasa hanya tinggal dua pilihan yang tersisa: turun jadi seorang agnostik rasionalistik atau naik menyongsong iman Kristen yang utuh dalam Gereja Katolik. Ini bukan suatu pilihan sama sekali, sebab kami sangat mengasihi Yesus dan tidak akan pernah menjadi seorang agnostik (tidak peduli akan Tuhan). Kami diterima ke dalam Gereja Katolik dan menerima sakramen penguatan pada tanggal 8 Februari 1994. Kami sungguh berbahagia menjadi Katolik, meskipun transisi - terutama hal memberitahu kawan-kawan dan keluarga tentang keputusan kami - sungguh sulit.

Karena lingkungan Gereja Katolik berbeda dengan Protestan Evangelikal, kami masih dalam proses adaptasi, tapi saya merasa seperti Kardinal Newman, yang setelah bergabung dengan Gereja Katolik, beliau berkata bahwa dia merasa seperti kapal yang akhirnya berlabuh di pelabuhan. Kami tidak lagi harus "terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran" (Efesus 4:14). Kami tidak lagi harus melanglang buana untuk meyakini bahwa apa yang kami percaya adalah ortodoks.

Sekelompok imam dan awam Katolik memberikan dukungan moral bagi kami dan telah memberikan pelayanan kasih Kristus melalui doa-doa dan dukungan mereka selama peziarahan kami kedalam Gereja Katolik. Perjalanan spiritual kami telah membawa kesempatan-kesempatan baru bagi kami dalam hal ibadah Kristen dalam liturgi, kekayaan sakramen yang luar biasa, dan kekayaan spiritualisme Katolik yang tak terbatas. Semua hal ini meyakinkan kami bahwa kami telah pulang ke rumah.
---------------------------------------------------------------------------

Sumber: Journey Home

Tidak ada komentar:

Posting Komentar