Kamis, 17 Maret 2011

Memahami Gempa Bumi dan Tsunami di Jepang sebagai Kehendak Allah

Tercenung saya mendengar komentar seorang rekan sejawat yang berkata bahwa bencana alam gempa bumi dan Tsunami di Jepang sebagai hukuman Allah karena bangsa tersebut tidak mau bertobat. Pun kata-kata yang sama meluncur saat bencana gempa bumi dan tsunami melanda di Aceh dan negara-negara di Asia sampai Afrika karena tsunami Aceh. “Mereka dihukum karena banyak melakukan kejahatan dan tidak mau bertobat.” demikian ujarnya. Saya bertanya dalam hati: Apakah memang demikian? Apakah Allah sedemikian kejam menghukum manusia dengan bencana alam sedemikian dahsyat?

Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak orang beranggapan bahwa di balik penderitaan atau kemalangan atau bencana, terdapat hukuman Allah. Siapa yang berbuat kesalahan pastilah ia menanggung hukuman, atau siapa menabur angin akan menuai badai. Singkatnya, orang masyarakat/orang yang hidup benar, seharusnya tidak akan tertimpa bencana, penderitaan atau kemalangan. Tetapi kenyataan yang kita alami dalam hidup sehari-hari seringkali membuktikan lain.

Seturut pengetahuan dan pengalaman yang saya timba sampai saat ini, Allah selalu menghendaki kebaikan bagi umatNya, termasuk tatkala Allah menghendaki saya dilahirkan dalam keadaan cacat. Bacaan Injil hari ini secara jelas dan tegas mengungkapkan hal itu:
“Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Mat 7:9-11)
Jadi dengan iman yang teguh kita berani berkata: Allah selalu akan memberikan yang baik kepada umat manusia. Lalu jika demikian bagaimana kita memahami bencana alam yang sedemikian menghancurkan. Apakah itu semua kehendak Allah? Mungkin kita hanya bisa berkata: itu adalah misteri ilahi.



Berkaca pada Sabda Tuhan dalam Yoh 9, ialah ketika yaitu Yesus dihadapkan pada seorang yang buta sejak lahirnya, Tuhan secara tegas menolak anggapan bahwa kecacatan, atau kemalangan, atau penderitaan, atau sesuatu yang dianggap bencana oleh sebagian besar masyarakat, adalah hasil atau akibat sebuah dosa yang dilakukan orang yang bersangkutan atau dilakukan oleh leluhur orang tersebut. Sebaliknya Tuhan Yesus menggarisbawahi sebuah makna panggilan dari terjadinya sebuah kemalangan atau bencana: "tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”.

Menarik memperhatikan frasa “pekerjaan-pekerjaan Allah” dan frasa “dinyatakan dalam dia”.
Apakah pekerjaan-pekerjaan Allah? Karya Allah adalah melaksanakan keselamatan, kemurahan, dan belas kasihan karena Ia Mahakasih dan Mahamurah. “dinyatakan” berarti dibuat nyata dan dapat dialami/dirasakan, artinya bagi “dia” yang mengalami kemalangan atau bencana karya-karya Allah yang Mahakasih and Mahamurah dapat dialami dan dirasakan, dan itu merupakan sebuah panggilan untuk peduli pada yang tertimpa bencana dan penderitaan.
Jadi frasa “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” mengandung sebuah pesan dan panggilan kepada kita semua, para murid Kristus, untuk menjadikan nyata belaskasihan, kemurahan dan anugerah ilahi pada para korban yang tertimpa bencana alam atau penderitaan atau kemalangan.

Dalam jalan pikiran itu, maka bila terjadi sebuah bencana alam, adalah tidak bijaksana untuk pertama-tama mempersoalkan siapa yang salah atau berdosa, tetapi jauh lebih bijaksana, dan sejalan dengan kehendak Tuhan Yesus, bila menangani para korban terlebih dahulu: memberi makan yang kelaparan, memberi tempat berteduh pada yang kehilangan rumah, menghibur yang sedih, membalut yang terluka, berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan para korban. Bila memang sebuah bencana terjadi karena kesalahan seseorang atau beberapa orang, biarlah itu dilakukan setelah para korban tertangani lebih dahulu atau setidak-tidaknya telah dilakukan tindakan pencegahan agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi, dan para korban yang menderita telah mendapat pelayanan sebagaimana mestinya.

Dalam konteks ini, maka dapat dipahami bahwa terjadinya sebuah kejadian/bencana, apapun bentuknya, yang menyebabkan penderitaan umat manusia adalah sebuah panggilan ataupun pula kesempatan untuk mengulurkan tangan, menunjukkan kepedulian, memberi bantuan. Atau dapat juga menjadi sebuah ujian, ialah sejauh mana kita peduli dan mau berbuat sesuatu untuk meringankan beban penderitaan sesama, atau kita hanya berdiam diri, tidak peduli dan hanya menganggapnya sebagai bahan obrolan di meja makan.



Apa yang terungkap di atas sejalan dengan pesan dan jalan pikiran para Gembala Gereja dalam Dokumen Konsili Vatikan II : Gaudium et Spes, artikel 1 : “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan umat manusia adalah juga kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus”

Maka menanggapi bencana alam atau kejadian apapun yang menimbulkan penderitaan sesama umat manusia, di situlah panggilan Allah menggema, untuk mulai menunjukkan kepekaan dan perhatian dan kepedulian untuk mulai saling berbagi kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Mari Berbagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar