Ketika sebagian pemimpin dunia menanggapi dengan suka cita berita kematian Osama Bin Laden dan memberi peringatan tentang bahaya terorisme mundial yang akan terus mengancam, dan ketika sebagian besar warga Amerika Serikat “merayakan” kematian orang yang barangkali paling ditakuti di dunia itu, kita lalu bertanya, “Haruskah kita bersyukur atas kematian seseorang?” “Haruskah kita bergembira atas tertumpahnya darah seseorang, siapa pun dia?”
Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab, termasuk oleh para pemimpin beragama. Jenis jawaban yang diberikan sangat tergantung pada konsepsi metafisik atau pandangan dasar mengenai manusia seperti apakah yang diajarkan agama bersangkutan. Agama tertentu yang menghalalkan cara kekerasan untuk mencapai tujuan akan bersukaria atas kematian seseorang jika yang bersangkutan berada di pihak lawan. Agama yang anggotanya mati tersebut akan menyerukan perlawanan yang lebih besar lagi kepada pihak-pihak yang dikategorikan sebagai “musuh”.
Tentu cara menafsir realitas ini tidak sepenuhnya mewakili kaum pandangan kaum beragama, bahkan mereka yang seagama dengan orang yang tewas sebagai korban pihak lawan mengingat bahwa cara kekerasan yang digunakan sebagai “alat” untuk mencapai tujuan tidak bisa menjadi pelegitimasi inti ajaran agama tersebut. Dalam arti itu tentu kita mengerti mengapa ada orang dan/kelompok dalam agama yang sama dengan si korban ikut “senang” dengan kematian yang bersangkutan, meskipun itu dikemukakan dalam cara beragam.
Kembali ke pertanyaan di atas, “Haruskah kita bergembira atau bersyukur atas kematian orang lain, apalagi orang yang dinyatakan bertanggung jawab atas berbagai kerusakan dan kehancuran kemanusiaan?” Sekali lagi jawabannya sangat tergantung pada apa konsepsi dasar kita mengenai kehidupan dan siapakah manusia. Mengenai hal ini, saya ingin berbagi tanggapan Gereja Katolik mengenai kematian Osama bin Laden.
Di hari ketika media memberitakan kematian bin Laden (2 Mei 2011), Pastor Frederico Lombardi, Juru Bicara Vatican justru mengingatkan kepada seluruh umat Katolik untuk tidak boleh bergembira atas kematian orang tersebut. Kita mungkin bertanya, “Mengapa koq orang Katolik dihimbau untuk tidak bergembira?” “Bukankah kematian bin Laden menyingkirkan ketakutan dari muka bumi ini, termasuk kemungkinan ancaman dan kekerasan terhadap Gereja Katolik sendiri?” Sekali lagi, ini semua sangat tergantung pada konsepsi mengenai siapakah manusia dan apakah kehidupan itu.
Frederico Lombardi menegaskan, bahwa kita seharusnya tidak bersukacita atas kematian manusia. Mengutip Lombardi, “Osama bin Laden - seperti yang kita semua tahu – adalah orang yang paling bertanggung jawab mempromosikan perpecahan antarmanusia dan menyebar benih kebencian di antara masyarakat. Dia telah menyebabkan kematian banyak orang yang tidak berdosa, ribuan dan tak terhitung jumlahnya. Dia juga memanfaatkan agama untuk tujuan ini semacam itu.”
Meskipun demikian, masih menurut imam Jesuit dari Italia ini, “Berhadapan dengan kematian seseorang,orang Kristen tidak pernah boleh bergembira.” Lombardi justru mengajak orang Katolik untuk, dalam situasi seperti ini, merefleksikan secara serius makna tanggung jawab yang diemban setiap orang Kristen di hadapan Allah dan manusia. Dengan cara demikian, menurut Lombardi, orang Katolik berharap dan bertekad menjadi orang yang bertanggung jawab, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, mengusahakan agar ke depannya tidak akan ada lagi satu kesempatan, sekecil apapun itu, yang memberi peluang kepada timbulnya pertentangan dan kebencian antarmanusia. Hanya dengan demikian, menurut Lombardi dan iman Katolik, perdamaian sejati di dunia bisa diwujudkan.
Tentu seruan semacam ini sangat bertolak belakang dengan situasi kebatinan sebagian besar - untuk tidak mengatakan semua – pemimpin negara di dunia. Persis bertolak belakang dengan seruan Lombardi adalah seruan David Cameron, Perdana Menteri Inggris, ketika dia mengatakan, “Berita mengenai kematian Osama bin Laden akan membawa kelegaan bagi masyarakat sedunia.”
Bagi saya, di sinilah persis terletak simpul dan nilai dasar Kristiani yang mencoba membangun kultur hidup bersama bukan dengan “mengandalkan pedang” tetapi dengan “menanggalkan pedang”. Orang Kristen tahu persis, ketika Yesus yang disebut Isah itu ditangkap oleh para musuh di Kebun Getsemani, salah satu murid-Nya langsung mencabut pedang dan memotong telinga salah seorang musuh, sampai putus. Si Isah itu tidak mengatakan “lanjutkan”, atau “berperanglah sampai darah penghabisan demi menegakkan Kerajaan Allah”, tetapi justru memerintahkan murid-Nya itu untuk memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya. Lantas Si Isah melanjutkan berkata, “Barang siapa yang menggunakan kekerasan, kepadanya akan ditimpahkan kekerasan pula.” Dan di tempat lain juga Si Isah juga mengatakan, orang Kristen, di mana pun dia hidup, tidak pernah boleh melawan kekerasan dengan kekerasan. Bahkan musuh dan orang yang paling menyakiti hatinya sekali pun, dia harus sanggup mengampuni. Pengampunan itu bahkan tidak pernah boleh dihitung alias terus-menerus.
Saya tidak ingin mempromosikan Kekristenan di sini. Apa yang saya kemukakan di sini dimaksud untuk memberi latar belakang atau konteks mengapa Frederico Lombardi menyerukan orang Katolik untuk tidak bergembira atas kematian Osama bin Laden. Bagi saya, sikap semacam ini menjadi tanda yang baik sekaligus kesaksian, yang kalau dipromosikan, justru akan mempersiapkan ladang yang subur bagi bertumbuhnya benih-benih kedamaian, kasih, dan persaudaraan. Apa yang dikatakan Lombardi hendaknya menjadi awal bagi upaya kita semua membangun dunia dan peradaban, bukan di atas kebencian dan eksklusivitas, tetapi di atas kasih persaudaraan, bahwa pada akhirnya kita semua adalah satu, makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Terima kasih, Lombardi!
Ditulis oleh : Jeremias Jena
Dimuat di http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/05/03/orang-kristen-dilarang-bergembira-atas-kematian-osama-bin-laden/?ref=signin#comment
Tidak ada komentar:
Posting Komentar