Kamis, 04 Agustus 2011
S A H A B A T
"A friend in need is a friend indeed," yang berarti teman dalam kesusahan adalah teman sejati, pantas untuk kita renungkan. Teman yang membantu, mendampingi di saat "jatuh" serta benar-benar memberikan pertolongan adalah teman yang tulus hati. Mereka akan tetap setia dalam suka maupun duka. Marcus Tullius Cicero (106 - 43 SM), pernah berkata, "Amicus certus in re incerta cernitur" yang berarti sahabat sejati ditentukan ketika ada hal yang tidak pasti. Ini berarti pula bahwa sahabat sejati ditentukan ketika seseorang sedang menghadapi permasalahan. Seorang sahabat tidak akan meninggalkan sendiri dalam kemelut permasalahannya, namun dia akan mendampingi.
Dongeng klasik tulisan H.C. Andersen (1805 - 1875) yang berjudul, "The Travelling Companion" menceriterakan kisah John - yang walaupun - sebatang kara dan miskin, ia memberikan semua uangnya untuk menolong orang yang sudah meninggal dunia. Setelah itu, ia menjalani hidup tanpa uang saku atau bekal yang berarti. Namun di tengah perjalanan ia menemukan teman, yaitu Tom. Teman itu sangat baik dan banyak membantu John ketika menghadapi kesulitan. Akhirnya John bisa hidup bahagia berkat pertolongannya. Itulah cerita dari "The Traveling Companion." Kalau ditilik dari asal katanya (etimologi), kata "companion" berasal dari kata "cum" (bersama) dan "panis" (roti). Arti harfiahnya adalah makan roti bersama, makan dari roti yang sama, sharing bersama, berjalan bersama-sama. Kebersamaan - idealnya - selalu disertai dengan makan bersama. Suasana hati yang sedang makan, tentu disertai dengan rasa gembira. Jika dalam makan bersama itu ada ganjalan hati, tentu saja makanan - bagaimana pun nikmatnya - tidak akan tertelan.
Sikap yang tulus dalam persahabatan dapat dirasakan oleh orang lain. Sikap hidup yang penuh kasih itu dimulai dalam keluarga. Tatkala anak dalam bimbingan orang tua dan diasuh dengan penuh kasih, di kemudian hari, anak tersebut akan memberikan kasih dan perhatian juga kepada sesama. Dia akan menjadi sahabat yang baik. Belum lama berselang, saya mengunjungi sebuah Panti Asuhan yang mengasuh anak-anak "yang kelahirannya tidak dikehendaki oleh orang tuanya." Di pojokan taman ada anak yang menaruh curiga-prasangka terhadapku sewaktu saya mendekati dan ingin memeluknya. Tetapi anak itu menolaknya. Barangkali "pengalaman penolakan" dari kedua orang tuanya yang tidak bertanggung jawab itu terpateri dalam hatinya dan menganggap orang lain itu pantas untuk dicurigai. Sikap curiga yang berlebihan itu bagaikan dinding yang tinggi yang menghalangi seseorang bergaul akrab dengan yang lain. Namun tidak dapat diingkari bahwa kita seringkali menemukan kehangatan persahabatan dalam sebuah keluarga. Seorang anak yang diasuh oleh pengasuh yang sederhana, baik hati dan setia, bisa menumbuhkan sikap afeksi dalam diri anak terebut dan menjadi pribadi "yang penuh cinta." Pengalaman ini bisa kita sandingkan dengan "David Copperfield" karya Charles Dickens (1812 - 1870). Membaca Novel tersebut, banyak orang tentu berdecak kagum dengan kesetiaan si Peggotty. Kemurnian hati Peggotty dalam mengasuh David yang telah ditinggal mati ayahnya dan ibunya sungguh luar biasa. Dave, panggilan kesayangan David Copperfield itu pada waktu itu hanya memiliki sahabat sejati yang terdapat dalam diri Peggotty. Dan setelah mencapai kesuksesannya sebagai penulis, tentu saja David tidak mungkin melupakan jasa-jasanya. Persahabatan yang sedemikian ini berlangsung abadi, karena tidak ada tendensi apa pun. Peggotty dan David bukanlah saudara kandung. Itulah sebabnya, ada orang yang mengatakan bahwa tetangga adalah sahabat terdekat dari diri kita. Jika kita sakit, pertama-tama yang tahu adalah tetangga sendiri. Sedangkan saudara kandung (kakak-adik) itu tidak bisa merawat kita yang sedang sakit karena jarak yang jauh. Di sinilah kita diajak untuk memberi arti sebuah nilai persahabatan.
"Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu" adalah sepenggal syair dari Niji. Membangun persahabatan tidaklah mudah. Tidak jarang kita temui persahabatan itu seperti "ulat" yang di dalamnya ada konflik, perselisihan dan salah komunikasi. Kejadian seperti ini memang dibutuhkan untuk memurnikan nilai sebuah persahabatan. Tetapi kemudian, masing-masing pribadi perlu untuk berefleksdi diri yaitu dengan menjadi "kepompong" dan hasilnya adalah seekor kupu-kupu yang indah. Pada cerita lain kita kenal dengan film yang berjudul "Butterfly" yang disutradarai oleh Nayato Fio Naula dengan lagu yang dinyanyikan oleh Melly Guslaw dan Andhika Pratama. Film ini mengisahkan tentang tiga sahabat yaitu Vano, Tia dan Desi yang mencari jati diri dalam perjalanan (companion) dan mencari makna kehidupan. Klimaks dari cerita "Butterfly" ini adalah kematian Desi yang dengan tulus "menyerahkan" Tia supaya menjadi sahabat bahkan pasangan hidup bagi Vano yang juga dicintainya. Persahabatan memang sungguh indah!!
Dikutip dari artikel yang ditulis oleh Ps. Markus Marlon MSC, didapat dari EMail.
Label:
Artikel,
Doa/Renungan/Kesaksian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar