Makna Persepuluhan
Praktek persepuluhan sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh orang Israel. Bangsa-bangsa Mesopotamia kuno juga mempraktekkan hukum persepuluhan untuk dipersembahkan kepada raja atau dewa-dewi mereka. Agaknya Abraham yang berasal dari tanah Ur-Kasdim cukup familiar dengan kebiasaan ini sehingga saat menang perang dia mempersembahkan 10% dari hasil jarahannya kepada Melkisedek, imam-raja Salem, yang menjadi sekutunya (Kej 14:20). Angka 10 di sini adalah lambang dari totalitas atau kepenuhan dalam sistem numerik mereka. Maka bila mempersembahkan 10%, hal ini bermakna mempersembahkan keseluruhannya.
Sementara persembahan persepuluhan dalam Perjanjian Lama bermakna untuk mengingatkan bangsa Israel bahwa segala harta yang mereka peroleh itu berasal dari Tuhan sendiri (bdk. Ul 12:10-11). Dengan mempersembahkannya, mereka hendak mengucap syukur atas semua anugerah itu.
Praktek Persepuluhan dalam Taurat
Dalam bangsa Israel persepuluhan dimaksudkan agar kaum Lewi (Bil 18:21) dan para imam (Bil 18:26-28) yang tidak mendapat jatah tanah, bisa tetap hidup. Yang harus dipersembahkan adalah sepersepuluh dari hasil bumi dan ternak (Im 27:30.32). Dimana mesti dimakan dan siapa saja yang boleh menikmati persembahan persepuluhan ini?
Ternyata ada praktek yang berbeda:
Pada tahun pertama dan kedua, persembahan persepuluhan itu dibawa ke tempat ibadah – yang menikmati adalah si pembawa persembahan, anak laki-laki dan perempuannya, hamba laki dan perempuannya, dan kaum Lewi yang di tempatnya (Ul 14:22-28). Jadi, tidak hanya kaum Lewi, melainkan keluarga si pembawa persembahan juga. Pada tahun ketiga persembahan persepuluhan itu tidak dibawa ke tempat ibadah, tetapi hanya diletakkan di pintu gerbang kota masing-masing dengan maksud agar orang Lewi, orang asing, anak yatim dan janda bisa menikmatinya (Ul 14:28-29). Jadi, pada tahun ketiga ini juga terdapat dimensi sosial untuk mereka yang kurang beruntung.
Persepuluhan sebagai pajak
Menarik bahwa praktek persepuluhan ternyata juga menjadi dasar penarikan pajak raja kepada rakyatnya. Samuel mengingatkan rakyat Israel yang meminta seorang raja demikian (1 Sam 8:14-17) :
Selanjutnya dari ladangmu, kebun anggurmu dan kebun zaitunmu akan diambilnya yang paling baik dan akan diberikannya kepada pegawai-pegawainya dari gandummu dan hasil kebun anggurmu akan diambilnya sepersepuluh dan akan diberikannya kepada pegawai-pegawai istananya dan kepada pegawai-pegawainya yang lain. Budak-budakmu laki-laki dan budak-budakmu perempuan, ternakmu yang terbaik dan keledai-keledaimu akan diambilnya dan dipakainya untuk pekerjaannya. Dari kambing dombamu akan diambilnya sepersepuluh, dan kamu sendiri akan menjadi budaknya.
Dengan demikian sebenarnya sistem persepuluhan juga dimaksudkan bagi raja Israel untuk menarik pajak bagi rakyatnya.
Dinamika Praktek Persepuluhan
Entah persepuluhan menjadi pajak bagi raja ataupun sumber penghidupan bagi para imam dan kaum Lewi, tentulah dipraktekkan bangsa Israel, terlebih setelah Bait Allah dibangun oleh Salomo dan sesudahnya. Mari kita lacak jejak praktek persepuluhan setelah kerajaan itu pecah menjadi dua, dimana Kerajaan Utara/Israel kemudian dikalahkan oleh Asyur (722 SM) dan dua ratusan tahun kemudian Kerajaan Selatan/Yehuda dihancurkan oleh Babel (586 SM). Sebagian besar para pemimpin dan cerdik pandai di antara kedua kerajaan itu dibuang ke pusat kerajaan yang telah mengalahkan mereka.
Tobit, salah seorang Yahudi yang ikut dibuang ke negeri Asyur, setiap tahun masih berziarah ke Bait Allah di Yerusalem sambil membawa persembahan, termasuk persepuluhan, sesuai aturan kitab Ulangan (lih. Tob 1:6-8).
Sementara Hizkia, raja Yehuda, sebelum kehancuran Yerusalem, sempat mengadakan pembaharuan kerohanian dalam kerajaannya. Ia menetapkan kembali para imam dan kaum Lewi. Ia pun memerintahkan rakyat untuk memberikan sumbangan agar para imam dan kaum Lewi bisa mencurahkan tenaganya untuk melaksanakan Taurat Tuhan. Rakyat pun berbondong-bondong membawa persembahan, termasuk persembahan persepuluhan atas segala sesuatu (2 Taw 31:1-6).
Namun, saat Yerusalem dikalahkan Babel, Bait Allah mereka dihancurkan musuh. Para pemimpin dan orang pandai di kerajaan Yehuda dibuang ke negeri Babel. Di sana mereka tidak lagi mempunyai tempat untuk membakar korban persembahan. Maka menjadi tidak ada alasan pula untuk mempersembahkan persepuluhan bagi kaum Lewi dan para imam yang notabene ‘kehilangan fungsi pelayanan’ karena Bait Allah telah dihancurkan. Selama di pembuangan itu (586-531 SM) umat Yahudi setiap hari Sabat berhimpun untuk mempelajari Taurat Tuhan dan berdoa bersama. Inilah cikal bakal sinagoga orang Yahudi.
Setelah kaum buangan Babel diperkenankan kembali ke Yerusalem, Ezra dan Nehemia memimpin pembangunan kembali Bait Allah yang telah hancur. Nehemia juga mengatur kembali ibadat di Bait Allah yang baru, termasuk menegakkan kembali hukum persepuluhan (lih. Neh 10:37-38; 12:44; 13:5,12). Namun agaknya aturan persepuluhan ini kurang diindahkan oleh umat Israel, sehingga melalui Maleakhi, Tuhan menegur umat Israel dan memerintahkan, “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan” (Mal 3:10).
Hukum persepuluhan itu dipraktekkan oleh orang Yahudi sampai zaman Tuhan Yesus. Bahkan orang-orang Farisi berusaha mempraktekkan persepuluhan sampai pada hal-hal yang kecil. Mereka mengira bahwa dengan demikian mereka bisa berkenan di hati Tuhan. Namun, kenyataannya mereka justru mengabaikan yang terpenting dalam Taurat, yakni keadilan, belas kasih, dan kesetiaan, sehingga Tuhan Yesus mengecam mereka (Mat 23:23). Dalam perumpamaan Yesus pun Orang Farisi yang telah melakukan banyak kesalehan, termasuk persepuluhan, ternyata tidak dibenarkan oleh Tuhan karena dia tidak menghadap Tuhan dengan penuh kerendahan hati (Luk 18:10-14).
Apakah Pengikut Kristus mempraktekkan persepuluhan?
Bagaimana dengan para pengikut Kristus, apakah mereka diwajibkan untuk membayar persepuluhan? Surat kepada orang Ibrani menegaskan bahwa hukum persepuluhan dipraktekkan orang Yahudi untuk menghidupi para imam dan kaum Lewi (Ibr 7:5). Sementara kita memiliki Yesus, imam agung kita, yang tidak membutuhkan persepuluhan!
Mari sekarang kita melihat praktek dalam Gereja Perdana, apakah mereka juga mempraktekkan persepuluhan?
- Yesus dan para rasul adalah kaum awam, bukan dari suku Lewi ataupun imam, maka mereka tidak akan pernah menerima persepuluhan menurut hukum Yahudi (bdk. Ibr 7:13-14). Jadi, seandainya dipungut persepuluhan, berarti hal itu akan ‘disetorkan’ kepada para imam dan kaum Lewi Yahudi!
- Dalam Konsili Pertama di Yerusalem diputuskan oleh para rasul bahwa orang-orang non Yahudi yang hendak menjadi Kristen tidak diwajibkan mematuhi hukum Taurat. Dalam daftar yang harus mereka lakukan, persepuluhan pun sama sekali tidak disebutkan (lih. Kis 15:28-29).
- Paulus yang mewartakan Injil di antara orang non Yahudi diminta tetap mengingat orang-orang miskin (Gal 2:9). Maka dia berusaha menghimpun persembahan sukarela di antara jemaat yang didirikannya (lih. 2 Kor 8-9) untuk keperluan umat Allah yang miskin di Yerusalem (Rom 15:26).
Maka jelaslah bahwa sejak awal Gereja memang tidak mempraktekkan persepuluhan, tetapi tetap menghimpun persembahan sukarela yang dimaksudkan untuk :
- kepentingan orang miskin (Rom 15:26),
- karya Gereja (3 Yoh 1:8; Kis 2:45)
- kehidupan para pelayan Firman (bdk. Mat 10:10; Luk 10:7; 1 Kor 9:14; 2 Kor 11:8-9).
Suatu Persembahan yang Ikhlas, Bebas, dan Pantas
Bagaimana dan seberapa besar kita mesti memberikan persembahan? Persembahan kita hendaknya diberikan secara:
- ikhlas – memberi dengan penuh kerelaan hati, bukan terpaksa (2 Kor 9:7 – “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”
- bebas – tanpa menuntut atau berdagang dengan Tuhan. Kita ingat kisah Zakheus yang setelah disapa dan diorangkan oleh Tuhan Yesus, berani berkata, "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat”(Luk 19:8).
- Dalam jumlah yang pantas – sesuai dengan rejeki/berkat yang telah diterima. “Berikanlah kepada Yang Mahatinggi berpadanan dengan apa yang Ia berikan kepadamu, dengan murah hati dan sesuai dengan hasil tanganmu”(Sir 35:9). Tentu kita ingin menjadi Si Samaria yang tahu bersyukur dan berterima kasih atas anugerah Tuhan (Luk 17:1-10).
Akhirnya, semoga uraian ini bisa menambah wawasan iman kita, namun terlebih membuat kita makin bersyukur atas berkat yang telah Tuhan berikan kepada kita masing-masing.
Artikel asli ditulis Oleh: Rm. F.X. Didik Bagiyowinadi, Pr dari http://www.imankatolik.or.id/persepuluhan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar