Jumat, 18 Maret 2011

SALIB : Hukuman Mati yang Ngeri dan Keji

Materi Tambahan untuk Katekese Dewasa

Hukuman mati ini berasal dari negeri Persia, kemudian diambil alih oleh Yunani, dan sejak perang dengan Kartago, orang Roma pun menggunakan hukuman salib. Oleh bangsa Romawi salib dijadikan alat hukuman yang paling kejam terhadap para budak dan orang-orang asing (terutama orang jajahan) yang memberontak.

Konon, hukum Yahudi menentukan bahwa para pemuja berhala, penghojat dan pemberontak dirajam dengan batu dan digantung pada sebuah tiang. Mereka dibiarkan mati secara mengerikan karena dipandang sebagai yang terkutuk oleh Allah. Dan agar tidak menajiskan, maka mayatnya segera dikuburkan (Ul 21:23). "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Gal 3:13).

Penyaliban kerap diawali penderaan dengan tujuan untuk memperlemah daya tahan tubuh si terhukum agar tidak dapat melawan dan sebagai bahan olok-olok. Cara mendera orang Yahudi berbeda dengan orang Romawi. Orang Yahudi tidak boleh memberikan deraan lebih dari empat puluh pukulan, masing-masing pada bahu kiri dan kanan serta dada. Sedangkan orang Romawi tidak ada batasnya; mereka boleh memukul di mana saja. Alat penderaan terbuat dari cambuk yang ujungnya diperkuat dengan batu-batu timah dengan paku-paku kecil di ujungnya atau tulang punggung binatang yang telah diruncingkan ujung-ujungnya.



Tangan si terhukum diborgol dan diikat pada sebuah tiang yang tingginya berukuran kurang lebih 60 cm. Dalam posisi membungkuk si terhukum didera oleh algojo-algojo yang tidak berperikemanusiaan. Kedahsyatan penderaan dapat menyebabkan banyak luka dan darah di seluruh tubuh si terhukum, sehingga rupanya pun tak tampak (Yes 1:6; 53: 3-4. Yesus Sendiri disesah secara luar biasa, di mana Ia menerima tidak kurang dari 121 kali deraan atau tidak kurang dari 726 luka di sekujur Tubuh-Nya). Luka-luka dan aliran darah bekas penderaan tentu saja mempercepat proses kematian.

Patibulum adalah kayu palang yang beratnya berkisar antara 50-60 kg dan panjangnya sekitar 1,5 meter dengan lubang di tengahnya. Si terhukum dipaksa untuk membawa sendiri patibulum-nya ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Tempat eksekusi biasanya sangat strategis agar mudah ditonton orang yang lewat. Di tempat ini telah dipancang tiang vertikal (stipes), yang ujungnya dibuat lebih kecil sehingga patibulum mudah dimasukkan padanya.

Kedua tangan si terhukum diikat terentang pada patibulum yang diletakkan pada bahunya. Tali dililitkan pada tangan kanan membelit lengan, melingkari dada, lalu membelit lengan kiri, mengikat tangan kiri; ujung tali diikat pada pergelangan kaki kiri, sehingga ia terpaksa berjalan membungkuk, tidak bebas dan menimbulkan tertawaan khalayak ramai yang menyaksikannya.

Tiba di tempat hukuman si terhukum dibaringkan. Lebih dahulu tangannya direntang, dipaku dan/atau diikat pada patibulum di atas tanah, kemudian patibulum dengan orangnya diangkat dan ditancapkan pada tiang stipes melalui lubang patibulum itu. Sesudah itu kaki si terhukum dipakukan pada tiang stipes.

Ada sebatang kayu kecil (sedicula) ditempelkan pada bagian pantat atau pun telapak kaki. Dengan demikian lengan si terhukum tidak mudah sobek dan ia akan bertahan lebih lama pada salib. Kemudian si terhukum dibiarkan tergantung pada kayu salib sampai ia wafat. Untuk mempercepat proses kematian, si terhukum seringkali disesah dan kakinya dipatahkan (crurifragium) (bdk Yoh 19: 31-32).

Bagi yang tidak punya kuburan, mayat si terhukum seringkali dibiarkan membusuk, bahkan menjadi mangsa serangga dan binatang buas. Namun, kerap juga kaum kerabat atau keluarga meminta izin dengan memberi sejumlah uang kepada penguasa, supaya mayat si terhukum dapat dikuburkan.


Dikutip dari tulisan P. Kamilus Ndona Sopi, CP. dalam www.indocell.net/yesaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...