Kamis, 12 Mei 2011

Qian Hongyan, Semangat si Bocah Cacat

Kisah Penyandang Cacat Qian Hongyan, sering saya pergunakan sebagai pengantar dalam katekese tentang  "Bersyukur" atau pendalaman makna  "Pembaptisan/Kebangkitan" atau  "Karunia Roh Kudus". Sering juga saya pergunakan sebagai bahan permenungan dalam retret/rekoleksi:  "Siapakah Aku?". Semoga bermanfaat bagi karya katekese Anda. 



Ujian yang mahaberat, jika disikapi dengan pikiran terbuka dan jiwa yang lapang, bisa mengobarkan semangat perjuangan yang tak gampang padam. Dan, semangat itulah yang dikobarkan seorang bocah bernama Qian Hongyan.

Kita memang kadang perlu belajar dari seorang bocah. Jika kita ingat kembali, semangat sebagai anak-anak sangat kuat untuk menerjang semua halangan dan tantangan. Satu contoh nyata adalah saat kita belajar berjalan. Meski jatuh berkali-kali, sebagai seorang bocah kita tentunya terus berusaha hingga benar-benar bisa berjalan seperti saat ini.

Dan, semangat ala bocah inilah yang-barangkali-mampu menjadi "bara api" yang terus menyala di tengah gelap dan kerasnya ujian bagi sesosok anak berusia belasan dari negeri China, Qian Hongyan. Ujian yang menimpa Qian memang sangat berat. Betapa tidak, di usianya yang masih sangat dini-tiga tahun (tepatnya pada bulan Oktober 2000)-ia mengalami kecelakaan fatal yang mengakibatkan separuh tubuhnya hingga batas pinggang harus diamputasi.

Jumat, 06 Mei 2011

Aku Mendamba Romo yang .....

Aku mendamba Romo yang penuh kasih
bukan yang pilih kasih.
Aku mendamba Romo yang bajunya kadang kekecilan, kadang kegedean
itu berarti pemberian umat,
sebagai tanda cinta, tanda hormat

     Aku mendamba Romo, yang galak tapi sumanak
     Kaku pada dogma, tapi lucu kala canda
     yang lebih sering memegang rosario
     dibandingkan BB warna hijau
     Aku mendamba Romo yang lebih banyak mendengar
     dibandingkan berujar.
     Aku mendamba Romo yang menampung air mataku
     - tanpa ikut menangisi -
     yang mengubah putus asa menjadi harapan
     yang mengajarkan ritual sekaligus spiritual

Kebangkitan Yesus : Dasar Keselamatan Manusia Seutuhnya

SEBUAH KAJIAN
(Materi Katekese Dewasa)

Kebangkitan Yesus dan Hubungannya dengan Keselamatan Manusia

Perjanjian Baru mewartakan tanpa ragu-ragu bahwa Yesus telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati (Kis 13:30), dan karenanya Ia telah beralih dari kematian kepada kehidupan. Perjanjian Baru juga mencatat bahwa sesudah kebangkitanNya, Yesus berkali-kali menampakkan diri kepada para muridNya. Dalam penampakan-penampakan ini, Injil mencatat, bahwa Ia berusaha meyakinkan para muridNya bahwa Dia benar-benar telah bangkit dari kematian dan kini hidup (Lukas 24:41-43), siapa yang hadir di tengah-tengah mereka adalah Yesus yang telah mereka kenal dan telah bergaul akrab dengan mereka dahulu. Ia menunjukkan bukti-bukti fisik sampai kemudian para murid percaya bahwa Yesus benar-benar telah hidup (Yohanes 21:12). Tetapi kehidupan Yesus sesudah kebangkitanNya digambarkan oleh Kitab Suci sangat berbeda dengan hidup Yesus sebelum kematianNya. Ada perbedaan besar antara hidup sebelum dan sesudah kebangkitanNya. Kitab Suci menggambarkan adanya suatu kemampuan luar biasa yang ada pada diri Yesus, yang membuat Ia mampu mengatasi ruang dan waktu (Yohanes 20:19,26). Hidup yang ada pada Diri Yesus sesudah kebangkitanNya adalah hidup yang baru. Ia pun berusaha menjelaskan makna kematian dan kebangkitanNya (Lukas 24:25-27, 44-47) seraya memberi perintah pada para muridNya untuk mewartakan Injil (Matius 27:19-20, Markus 16:15) dan menjadi saksi akan semuanya yang telah terjadi itu (Lukas 24:48).

Kejadian Yesus yang bangkit dari kematian dan mengalami hidup baru bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, yang hanya menyangkut diri Yesus pribadi. Perjanjian Baru percaya bahwa bahwa apa yang dialami oleh Yesus menyangkut diri orang lain juga. Bahkan nuansa inilah yang sangat kental mewarnai pewartaan Injil dalam Perjanjian baru, yaitu bahwa Yesus yang telah mati dan dibangkitkan itu mewakili seluruh umat manusia, dan juga bahwa Ia menjadi yang pertama mengalaminya, untuk kemudian semua yang percaya kepadaNya akan mengalami hal serupa (Roma 8:29). Yesus yang telah mati karena dosa-dosa kita (1 Kor 10:4) dan kemudian dibangkitkan menjadi gambaran masa depan umat beriman. Jika Yesus tidak bangkit maka hidup manusia akan terus berakhir pada kematian. Kematian adalah nasib setiap manusia karena dosa Adam (Roma 6:23). Yesus yang bangkit digambarkan oleh Paulus sebagai Adam yang baru, yang membawa kehidupan dan keselamatan (Roma 5:17). Jadi di dalam Yesus yang dibangkitkan, maut telah dikalahkan dan manusia memperoleh harapan akan kehidupan dan keselamatan. Keselamatan yang digambarkan dalam Perjanjian Baru adalah kehidupan baru (1 Kor 5:17, Roma 6:4-5). Kehidupan baru yang dilukiskan dalam Kitab Suci jauh lebih mulia, melebihi eksistensi kehidupan lama (sebelum kebangkitan) dalam diri manusia Yesus. Dengan kebangkitan, kehidupan benar-benar diperbarui.

Hidup baru yang digambarkan dalam Perjanjian Baru berarti juga bahwa kehidupan yang lama telah ditinggalkan. Kehidupan lama digambarkan oleh Paulus sebagai kehidupan menurut daging yang penuh dosa (Gal 5:16-26, Ef 5:1-21), yaitu masih adanya keterikatan pada perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan menodai martabat manusia. Kebangkitan Yesus dapat juga dipandang sebagai penciptaan kembali (Lumen Gentium (LG) 7, 48), artinya pembaharuan hidup manusia seluruhnya. Kebangkitan diartikan sebagai sebuah penyempurnaan penciptaan dan eksistensi yang baru itu sebagai peningkatan eksistensi yang lama. Tindakan penyelamatan Allah lewat pembangkitan bermaksud untuk mengoreksi segi negatif dari ciptaan, yaitu dosa, untuk kemudian menyempurnakan segi yang positif. Jadi ciptaan (manusia) yang telah berada dalam jalan menuju kematian karena dosa, dalam Kristus yang dibangkitkan menemukan kembali jalan menuju kehidupan dan keselamatan.

Selasa, 03 Mei 2011

Orang Kristen Dilarang Bergembira Atas Kematian Osama Bin Laden

Ketika sebagian pemimpin dunia menanggapi dengan suka cita berita kematian Osama Bin Laden dan memberi peringatan tentang bahaya terorisme mundial yang akan terus mengancam, dan ketika sebagian besar warga Amerika Serikat “merayakan” kematian orang yang barangkali paling ditakuti di dunia itu, kita lalu bertanya, “Haruskah kita bersyukur atas kematian seseorang?” “Haruskah kita bergembira atas tertumpahnya darah seseorang, siapa pun dia?”

Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab, termasuk oleh para pemimpin beragama. Jenis jawaban yang diberikan sangat tergantung pada konsepsi metafisik atau pandangan dasar mengenai manusia seperti apakah yang diajarkan agama bersangkutan. Agama tertentu yang menghalalkan cara kekerasan untuk mencapai tujuan akan bersukaria atas kematian seseorang jika yang bersangkutan berada di pihak lawan. Agama yang anggotanya mati tersebut akan menyerukan perlawanan yang lebih besar lagi kepada pihak-pihak yang dikategorikan sebagai “musuh”.

Tentu cara menafsir realitas ini tidak sepenuhnya mewakili kaum pandangan kaum beragama, bahkan mereka yang seagama dengan orang yang tewas sebagai korban pihak lawan mengingat bahwa cara kekerasan yang digunakan sebagai “alat” untuk mencapai tujuan tidak bisa menjadi pelegitimasi inti ajaran agama tersebut. Dalam arti itu tentu kita mengerti mengapa ada orang dan/kelompok dalam agama yang sama dengan si korban ikut “senang” dengan kematian yang bersangkutan, meskipun itu dikemukakan dalam cara beragam.

Minggu, 01 Mei 2011

MINGGU KERAHIMAN ILAHI

Buku Catatan Harian St Faustina memuat setidak-tidaknya empatbelas bagian di mana Tuhan kita meminta suatu “Pesta Kerahiman Ilahi” ditetapkan secara resmi dalam Gereja.

“Pesta ini muncul dari lubuk kerahiman-Ku yang terdalam, dan diperteguh oleh kedalaman belas kasih-Ku yang paling lemah lembut (420)…. Adalah kehendak-Ku agar pesta ini dirayakan dengan khidmad pada hari Minggu pertama sesudah Paskah.… Aku menghendaki Pesta Kerahiman Ilahi menjadi tempat perlindungan dan tempat bernaung bagi segenap jiwa-jiwa, teristimewa para pendosa yang malang. Pada hari itu, lubuk belas kasih-Ku yang paling lemah-lembut akan terbuka. Aku akan mencurahkan suatu samudera rahmat atas jiwa-jiwa yang menghampiri sumber kerahiman-Ku (699)”

Tergerak oleh permenungan akan Allah sebagai Bapa yang Maharahim, maka Bapa Suci Yohanes Paulus II menghendaki agar sejak saat ditetapkannya, Minggu Paskah II secara resmi dirayakan sebagai Minggu Kerahiman Ilahi oleh segenap Gereja semesta. Hal ini dimaklumkan beliau pada tanggal 30 April 2000, tepat pada hari kanonisasi St Faustina Kowalska. Lebih lanjut, Paus Yohanes Paulus II memberikan tugas kepada para imam, sebagaimana tercantum dalam Dekrit Penitensiary Apostolik 29 Juni 2002, untuk memberikan penjelasan kepada umat Katolik mengenai Minggu Kerahiman Ilahi ini.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...