(Sedikit renungan, semoga bermanfaat bagi katekese)
Ketika Michelangelo (1475-1564) hendak membuat patung Pieta yang kesohor itu, ia ditegur oleh sahabatnya, “Hai mengapa kamu bekerja siang malam memikul batu dari gunung. Untuk apa?” Dengan penuh keyakinan, ia menjawab, “Sebab di dalam batu ini ada malaikatnya, maka aku semangat dalam bekerja” Di sini hendak dikatakan bahwa pekerjaan yang dibuat oleh sang maestro ini mempunyai tujuan yang jelas, yaitu bekerja demi kemuliaan Tuhan serta bagi kepuasan bathin. Memang, tanpa kita sadari seringkali kita merasa jenuh, bosan dengan pekerjaan yang kita lakukan. Bahkan ada peneliti yang menulis buku tentang Monday Syndrom, suatu ketakutan para karyawan menghadapi hari Senin, karena akan menghadapi pekerjaan yang itu-itu saja dan orang-orang yang sama. Rutinitas memang menakutkan.
Tidak semangat pun sering kita alami. Ada orang yang tiba-tiba murung tanpa sebab musabab yang jelas. Ia merasa sedih. Kalau ditanya mengapa ia bersedih, jawabannya, “Saya juga tidak tahu.” Ia merasa sedih, karena memang tiba-tiba merasa sedih saja. Setiap hari Senin merasa enggan pergi ke kantor. Ia merasa tertekan, enggan karena apa, Ia sendiri juga tidak tahu. “Bagaimana kalau semua perasaan itu diikuti?” Tentu akan diam, melamun saja dan tidak berbuat apa-apa. Maka dirinya dengan pesimis akan berkata, “Sabtu yang kelabu, Selasa yang penuh nestapa, Rabo yang loyo dan Kamis yang….” Memang, orang itu jika sementara dilanda derita, semuanya lalu menjadi kacau, gelap dan suram. Dan pandangan hidup pun menjadi sempit. Bahkan perasaan sering menguasai pikiran, sehingga seseorang menjadi tersiksa.
Jaman sekarang ini orang yang berbuat baik menjadi barang langka. Orang bisa bosan untuk berbuat baik, sebab orang yang dibaiki ternyata tidak merasa dibaiki. Sehingga kita berkata, “Untuk apa berbuat baik bagi orang lain?” Ada seorang bapak yang mengeluh demikian, “Saya seperti berada dalam sebuah liang. Siang mengerjakan pekerjaan yang sama setiap hari. Pergi ke kantor, pulang ke rumah. Makan, nonton TV, tidur. Saya ingin mengadakan perubahan, tetapi saya tidak mampu.” Jika tidak diselesaikan dengan benar, kebosanan dapat menyebabkan penyakit kejiwaan. Tandanya ialah hilangnya pengharapan, depresi (tertekan) dan pesimis.
Ada dua orang tukang batu yang sedang membangun Gereja. Ketika itu yang seorang ditanya, “Pak, anda sedang mengerjakan apa?” Dia menjawab, “Saya sedang menata batu bata dan saya mengerjakannya sampai tulang punggungku sakit sekali.” Kemudian yang seorang lagi ditanya dengan pertanyaan yang sama dan dia menjawab, “Wah, saya senang sekali, saya sedang membangun Gereja yang megah dan besar dan nanti akan dipakai berdoa begitu banyak orang.” Kita lihat, dua orang ini mengerjakan sesuatu yang sama, tetapi jawaban mereka berdua berbeda sama sekali. Yang satu pesimis dan yang lain optimis. Dalam bekerja, kita mengenal beberapa tahap.
Tahap Pertama, bekerja karena kewajiban. Tahap ini merupakan tahap yang paling dangkal. Orang merasa diwajibkan untuk bekerja di kantor. Yang namanya kewajiban itu datangnya dari luar diri. Seorang karyawan wajib lapor, kalau akan meninggalkan kantornya. Dalam tahap ini yang terjadi ialah hubungan atasan-bawahan.
Tahap Kedua, bekerja karena Kebutuhan. Tahap ini jauh lebih baik dari yang pertama. Seseorang butuh pekerjaan ini, karena dirinya banyak keperluan. Seorang karyawan hari ini berusaha baik dengan boss-nya, karena memang baru ada kebutuhan. Ia membutuhkan tanda tangannya untuk kenaikan pangkatnya. Karena ada kebutuhan, maka orang itu bekerja dengan baik dan rajin. Tetapi, setelah tanda tangan didapatkan, maka kerajinannya mulai luntur.
Tahap Ketiga, bekerja karena Kerinduan. Inilah tahap yang terbaik. Rindu merupakan ungkapan hati yang terdalam. Yang namanya rindu itu datangnya dari dalam. Daya dorongnya amat kuat dan sulit padam kalau kerinduannya itu belum terpenuhi. Orang yang bekerja karena rindu, maka dia setiap hari begitu semangat bekerja. Orang ini senantiasa datang cepat dan pulang paling terakhir. Ia menikmati pekerjaannya.
Kalau bekerja kita tempatkan sebagai tugas, maka akan terasa sebagai beban. Sebaliknya bila pekerjaan dilihat dalam hubungannya dengan perkembangan pribadi, maka pekerjaan menjadi menggembirakan. Konfusius (551-479 s.M) pernah berkata demikian, “Carilah pekerjaan yang kaucintai, maka seumur hidupmu tak akan pernah merasa bekerja.” Untuk kita kaum beriman, kita memandang bekerja sebagai panggilan hidup. Dengan demikian, apa pun pekerjaannya kita pandang dalam cakrawala baru, sehingga kita bisa berkata bahwa di dalam “batu” itu ada malaikatnya.
(Dari email yang didapat dari Milist, ditulis oleh Ps. Markus)
Terima kasih sudah berkunjung. Sedang BW ke blogmu.
BalasHapus