Yesus ditolak oleh orang-orang untuk siapa Dia datang. “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan melalui Dia, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik-Nya, tetapi orang-oirang miliknya itu tidak menerima-Nya” (Yoh 1:10-11). Akan tetapi, sengsara-Nya merupakan suatu tanda dari kasih yang begitu besar, seperti dikatakan-Nya sendiri: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13); tanda mana membuat orang selalu akan ditarik kepada diri-Nya. Dia bersabda: “Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12:32). Paulus menulis, “Melalui Dialah Allah berkenan tinggal di dalam Dia, dan melalui Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan perdamaian dengan darah salib Kristus. Juga kamu yang dahulu hidup jaiuh dari Allah dan menjadi musuh-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Kol 1:20-22).
Pada waktu Gereja perdana mewartakan kabar baik keselamatan, maka dia mewartakan – seperti Gereja masih melakukannya sekarang – kasih tak terbatas yang memancar dari salib Kristus. “Kami memberitakan Kristus yang disalibkan” (1Kor 1:23). Sengsara-Nya adalah kemuliaan mereka yang percaya. “Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal 6:14).
Sengsara yang diderita Yesus Kristus bagi kita sangatlah berat dan mengerikan, karena begitu besar kasih-Nya kepada kita. Kristus tidak hanya ingin memberikan kepada kita hidup yang berkelimpahan; dalam bela rasa-Nya yang tanpa batas Ia ingin ikut ambil bagian dalam setiap jenis penderitaan manusia – baik lahir maupun batin – untuk perdamaian dan penyembuhan semua orang yang menderita.
Pada waktu kitab-kitab Injil ditulis, bagian terpanjang dari masing-masing Injil itu adalah kisah sengsara. Ekaristi, yang adalah tindakan liturgis sentral dari komunitas Kristiani, suatu kenangan akan kematian-Nya (lihat Luk 22:19-20). Sengsara dan kematian-Nya diungkapkan dalam devosi-devosi seperti “Jalan Salib” dan “Peristiwa-peristiwa Sedih” dalam doa rosario. Dalam buku kecilnya yang populer, Mengikuti Jejak Kristus, Thomas a Kempis menulis: “Di dalam salib itulah keselamatan, di dalam salib itulah kehidupan dan di dalam salib itulah perlindungan terhadap musuh-musuh kita!” (Buku II, Pasal XII, “Hal Keluhuran Jalan Salib Suci”, hal. 92 edisi bahasa Indonesia terbitan OBOR).
Perjamuan Terakhir.
Dalam setiap kitab Injil, narasi sengsara Kristus diawali dengan cerita tentang Perjamuan Terakhir. Dalam peristiwa perjamuan ini Yesus menjelaskan makna penderitaan-Nya yang sebentar lagi akan benar terjadi, walaupun para murid-Nya tidak mampu mengerti semua hal ini sampai saat setelah kebangkitan-Nya (lihat Luk 24:25). Yesus mengungkapkan kebesaran dari kasih-Nya yang menyelamatkan: “Ia mengasihi orang-orang milik-Nya yang di dunia ini, dan Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya” (Yoh 13:1). Kristus menetapkan Sakramen Ekaristi dan Sakramen Imamat untuk melayani Ekaristi. Kristus juga membuat jelas bahwa kematian-Nya akan meresmikan suatu perjanjian yang baru dan kekal antara kita dan Allah kita, dan bahwa Dia dalam salib-Nya dan belas kasihan-Nya yang menyelamatkan, akan selalu hadir di tengah-tengah para murid-Nya dalam kurban-Nya pada Misa (lihat Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25).
Pada Perjamuan Terakhir Yesus membasuh kaki para murid-Nya (lihat Yoh 13:1-20) dan memberikan serangkaian pengajaran kepada para murid-Nya. Misalnya, Dia berbicara dengan jelas tentang Bapa dan Roh Kudus, karena oleh salib Ia menjadikan kita anak-anak Allah, di dalam diri kita ini Allah Tritunggal Mahakudus berdiam (lihat Yoh 14:9-26). Dalam Perjamuan Terakhir ini Yesus juga mencanangkan sebuah perintah yang baru: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi” (Yoh 13:34). Dalam terang salib Kristus, dinyatakanlah kasih-Nya yang penuh pengampunan, penuh pengorbanan, dan samasekali tidak mementingkan diri sendiri. Ini adalah satu-satunya kasih yang membawa damai-sejahtera kepada sebuah dunia yang berantakan. Ia bersabda: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu” (Yoh 14:27). Yesus juga mengajar para murid-Nya ‘perumpamaan’ tentang “Pohon anggur yang benar” (Yoh 15:1-8). Lalu, dalam doa-Nya kepada Bapa di surga, Kristus menunjukkan apa yang dapat dicapai oleh salib: kesatuan manusia dalam kasih Allah yang dapat dibuat mungkin (lihat Yoh 17:1-26).
Penderitaan Yesus yang mendalam di Taman Getsemani.
Setelah Perjamuan Terakhir, bersama para murid-Nya Yesus pergi ke Bukit Zaitun. Di taman itu Dia berdoa kepada Bapa-Nya. Dia mulai merasakan ketakutan akan penderitaan-penderitaan yang akan dialami-Nya. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari hadapan-Ku” (Mat 26:39). Kesedihan dan kepedihan Yesus begitu mendalam, sehingga “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk 22:44). Hati-Nya dan kehendak-Nya sebagai seorang manusia tetap setia dan taat-patuh kepada Bapa-Nya: “Tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39).
Doa Yesus di Taman Getsemani dengan jujur mengungkapkan semua kesedihan mendalam yang dialami-Nya secara mental demi kita semua, dengan komitmen penuh kepada kehendak Bapa. Doa Yesus ini adalah model sempurna untuk doa Kristiani pada saat-saat susah.
Tidak lama setelah doa Yesus kepada Bapa-Nya di Taman Getsemani, sejumlah pasukan bersenjata yang dikirim oleh para imam kepala, para ahli Taurat, dan tua-tua mendatangi taman untuk menangkap Dia. Rombongan pasukan bersenjata itu dipandu ke sana oleh Yudas Iskariot yang mengidentifikasikan Yesus bagi rombongannya dengan suatu pelukan pengkhianatan. Namun demikian, Yesus menyapa Yudas dengan lemah lembut: “Hai teman, untuk inikah engkau datang?” (Mat 26:50). Yesus juga menunjukkan keprihatinan-Nya terhadap para murid-Nya dan mendesak agar mereka diperkenankan untuk tidak dilibatkan: “Telah Kukatakan kepadamu, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi” (Yoh 18:8). Maka, para murid pun meninggalkan Dia, sungguh-sungguh kabur melarikan diri (lihat Mat 26:56).
Yesus diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Dengan kesabaran yang sungguh luarbiasa, Yesus mengalami proses peradilan yang samasekali tidak adil, di depan para pemuka agama yang duduk di Sanhedrin, di depan Herodus, dan di depan Pilatus. Selagi menjalani peradilan-peradilan tersebut dan juga pada saat-saat di antara peradilan yang satu dengan peradilan yang lain, Yesus mengalami banyak penghinaan. Ia menjadi sasaran penghinaan dan olok-olok. Seperti telah diramalkan oleh-Nya, Petrus menyangkal mengenal Dia sampai tiga kali. Yesus didera, diludahi dan dimahkotai duri. Setelah upaya separuh hati yang sia-sia untuk menghindarkan Yesus dari kematian, akhirnya Pilatus – di depan gerombolan banyak orang yang sudah panas dipenuhi kebencian – menjatuhkan hukuman mati di kayu salib atas diri-Nya.
Penyaliban Yesus.
Di kayu salib Yesus mengalami penderitaan fisik yang ekstrim, juga kesendirian dan desolasi. Yesus juga mengalami kesedihan sangat mendalam melihat kepedihan dari ibu-Nya yang dikasihi-Nya. Dalam jam-jam penderitaan dahsyat ini Yesus, sang Putera Allah dan Imam Besar Agung untuk keselamatan kita, tetap mampu mempertahankan kesabaran dan keagungan seorang Pribadi. Kita dapat memperoleh wawasan perihal pikiran dan hati Yesus dari kata-kata yang diucapkan dari atas kayu salib, seperti tercatat dalam Kitab Suci:
- “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).
- Kepada salah seorang penjahat yang disalibkan bersama-Nya, Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23:43).
- Kepada ibu-Nya dan Rasul Yohanes, Yesus berkata: “Perempuan, inilah anakmu! …… Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27).
- Yesus juga berdoa dengan Mazmur: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46; bdk. Mzm 22:1).
- “Aku haus!” (Yoh 19:28).
- “Sudah selesai” (Yoh 19:30).
- Sekali lagi Yesus menggunakan kata-kata sang Pemazmur ketika menyerahkan roh-Nya kepada Bapa-Nya: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk 23:46; bdk. Mzm 31:6).
Lalu Yesus “menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh 19:30). Jadi Putera Allah wafat untuk kita para pendosa. Santo Paulus menulis: “Tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar – tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm 5:7-8).
Dikutip dari tulisan F.X. Indrapradja, OFS
Dalam http://catatanseorangofs.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar